CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 21 April 2014

Kamu Punya Cita-Cita

Semilir angin malam masuk ke dalam kamar Zya melalui jendela kamarnya yang terbuka. Angin yang kemudian berhembus tepat ke arah wajahnya membuat kejenuhan Zya sedikit berkurang. Besok adalah hari pertamanya masuk kejenjang SMA. Tapi, ia sudah harus belajar dengan keras karena sebulan lagi akan mengikuti lomba olimpiade fisika. Sebenarnya sekarang ia tidaklah sedang belajar, melainkan ia sedang melamun, menghayalkan kisah-kisah kehidupannya nanti. Sambil membolak-balikkan kertas bukunya, ia mendesah pelan. Akankah hidupnya selalu seperti ini? Terus berkecimpung dengan buku-buku pelajaran yang terkadang membosankan. Tiada waktu untuk melakukan hal lain.
            Mama masuk kedalam kamar Zya dan melihatnya sedang terpaku pada suatu buku yang penuh dengan kumpulan soal. Dengan membawa secangkir susu hangat, mama mendekati Zya.
            “Zya, kok jendela kamarnya nggak ditutup?” tanya mama sambil meletakkan secangkir susunya di dekat Zya. Kemudian mama berjalan ke arah jendela bermaksud untuk menutupnya.
            “Lagi cari angin, Ma. Lumayan buat nemenin aku belajar.” Jawab Zya. Ia masih terpaku pada bukunya dengan wajah datar.
            “Udah, sekarang kamu tidur. Besok kan kamu sekolah. Nanti telat lho.” kata mama yang sudah menutup jendela kamar Zya.
            “Iya, Ma.” balas Zya dan segera membereskan buku-buku pelajarannya.
            “Oh, iya. Susunya jangan lupa diminum ya.” kata mama diambang pintu kamar Zya. Zya pun mengangguk lalu melihat mama yang telah menghilang dari balik pintu kamarnya.
****
Terik matahari disekitar danau, arah jalan pulang ke rumah Zya seakan menambah beban hidupnya. Dua minggu berlalu masa SMA-nya dimulai. Namun, ia tak dapat menikmati masa putih abu-abunya itu layaknya para remaja lainnya. Jujur, Zya sangat ingin mengikuti ekskul-ekskul yang ada di sekolahnya. Ia ingin tahu rasanya berorganisasi. Ia ingin disebut sebagai anak PMR, PASKIBRA, Pramuka, ataupun lainnya. Tapi apa daya, orang tua Zya tidak mengizinkan. Bahkan mereka memberikan Zya jadwal-jadwal bimbel yang sangat padat.
            Untuk melampiaskan kekesalannya, Zya refleks menendang sebuah kaleng bekas yang ada di depan kakinya. Dan tanpa sengaja pula kaleng bekas itu mengenai kepala seorang cowok yang kira-kira umurnya sebaya dengan Zya. Kaget, Zya segera menghampiri cowok itu yang tengah duduk di pinggir danau sambil meringis kesakitan.
            “Duh, sorry yah. Aku nggak sengaja. Beneran, deh. Aku nggak sengaja.” kata Zya dengan wajah panik dan memohon.
            “Eh, kamu hati-hati dong. Kamu pikir ini nggak sakit?” kata cowok itu dengan tampang kesal.
            “Ya, aku kan udah minta maaf. Lagian nanti kepala kamu nggak akan benjol-benjol amat.” balas Zya sambil memelas.
            “Hhh.. terserah kamu, deh. Ngomong-ngomong, ngapain sih kamu pake nendang kaleng segala? Kurang kerjaan banget!” tanya cowok itu. Entah apa yang membuat Zya serasa mudah mempercayainya. Danau yang tenang membuat lisan Zya berkata dengan lancar menceritakan keluh kesahnya. Disaat itu pula cowok itu menjadi pendengar yang baik.
            “Kamu nggak boleh gitu. Seharusnya kamu bersyukur karena kamu punya orang tua yang peduli dan bisa memperhatikan cita-cita kamu. Di luaran sana banyak kali yang pengen kayak kamu. Kehidupan yang berkecukupan, dikelilingi orang yang kita sayang, dan merasakan nyamannya menuntut ilmu. Termasuk aku. Aku merasa iri setelah dengar cerita kamu. Aku sekarang udah nggak bisa lanjutin sekolah aku. Semenjak Ibu aku sakit, aku yang mesti cari uang buat biaya hidup aku, adik aku, dan Ibu aku.” sela cowok itu setelah Zya selesai mengungkapkan keluh kesahnya.
            “Emangnya Ayah kamu kemana? Terus, sekarang kamu kerja apa?” tanya Zya penasaran.
            “Ayah aku udah lima tahun ini nggak balik ke rumah. Kabar terakhir yang aku dengar, dia jadi buronan polisi karena tersangka sebagai pengedar narkoba. Sekarang aku ngegantiin posisi Ibu aku sebagai penjual kasur keliling.” jawab cowok itu.
            “Hah?! Kamu nenteng – nentengin kasur? Berat banget dong!” Zya tersontak kaget. Ia tak percaya kalau pekerjaan cowok itu sangatlah tak mudah.
            “Mau diapain lagi. Malahan aku senang, karena yang merasakan penderitaan seperti ini bukan lagi Ibu aku.” kata cowok itu setengah tersenyum. Zya terangguk-angguk.
            Anyway, dari tadi kita ngobrol, tapi aku belum tahu nama kamu. Aku Zya.” kata Zya yang baru menyadari bahwa ia belum mengetahui nama cowok itu.
            “Oh iya, ya. Aku Aryan. Hm.. aku nggak bisa lama-lama disini. Aku mesti beliin Ibu aku obat.” kata Aryan kemudian bangkit dari duduknya.
            “Terus habis itu kamu mau kemana?” tanya Zya.
            “Ya pulang ke rumahku lah!” jawab Aryan heran.
            “Aku boleh nggak ikut ke rumah kamu? Aku pengen nengokin Ibu kamu.” kata Zya dengan senyum manisnya. Aryan mengerutkan alisnya, tapi ia mengizinkannya juga. Mereka segera meninggalkan danau itu. Ada satu masalah yang sedang dilakukan Zya yang pastinya akan membuat orang tuanya marah.
****
Tubuh Zya terhempaskan di atas kasurnya yang empuk. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Seperti yang ia duga, kedua orang tuanya pasti marah. Jelas mereka marah! Ada tiga bimbel yang Zya lewatkan pada hari ini. Tapi, Zya tak merasa menyesal akan perbuatannya. Bahkan ia merasa hari ini ia mendapat pengalaman yang luar biasa. Hari ini ia baru mengetahui cara hidup masyarakat yang kurang mampu. Kehidupan yang penuh penderitaan, perjuangan, dan hati yang ikhlas dalam menghadapi berbagai cobaan. Pintu hati Zya terketuk saat melihat kisah hidup Aryan. Zya seakan malu pada dirinya sendiri. Mulai saat ini, Zya bertekad akan belajar dengan sungguh-sungguh dan berusaha untuk memenangkan olimpiadenya nanti.
            Zya tak dapat tidur malam ini. Ia terus memejamkan matanya berharap dapat terlelap dan alhasil ia tetap terjaga. Karena itu ia memutuskan untuk belajar. Ia harus memenangkan olimpiade itu agar dapat menjalankan misinya. Dan besok ia akan berbicara kepada kedua orang tuanya tentang misinya secara baik-baik.
****
Tiga minggu kemudian...
Aryan sedang duduk termangu menunggu kedatangan Zya. Kemarin Zya menyuruh Aryan untuk menemuinya di tempat pertama kali mereka bertemu. Lelah menunggu, Aryan ingin berbalik pergi. Tapi tiba-tiba suara histeris memanggil namanya. Aryan segera menoleh ke sumber suara yang ternyata adalah Zya.
            “Kamu kemana aja, sih?! Kamu yang bikin janji tapi nggak on time. Kamu pikir aku nggak ada kesibukan selain nungguin kamu?” kata Aryan sambil memasang wajah kesalnya.
            “Huh..hh..hh.. maaf yah. Tadi lagi ada emergency, soalnya!” kata Zya yang sementara ngos-ngosan. Ia pun mendudukkan dirinya diikuti Aryan.
            “Apapun itu, aku nggak peduli. Maksud kamu nyuruh aku kesini buat apa?” tanya Aryan tak acuh.
            “Aku menang lomba olimpiade fisika tahun ini!!” jerit Zya sangat histeris.
            “Oh.. selamat, ya.” balas Aryan tanpa ekspresi apapun. Zya mengerucutkan bibirnya.
            “Tapi bukan itu intinya.” sahut Zya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah cek yang telah tertera sejumlah nominal uang diatasnya. Aryan menatap Zya bingung ketika Zya memberikan cek itu kepadanya.
            “Ini beasiswa dari kemenangan aku. Aku mohon kamu bisa nerima beasiswa ini. Karena kamu harus tahu, aku menangin lomba ini buat kamu. Sejak aku kenal kamu, aku ngerasa jauh lebih beruntung. Aku ngerasa bersalah karena sering menuntut keadaan. Aku salut sama kamu. Dalam saat seperti ini kamu udah punya tanggung jawab yang sangat besar. Kamu harus mambiayai hidup kamu sendiri, adik kamu, dan Ibu kamu. Nggak semua orang bisa ngelakuinnya kayak kamu!” kata Zya yang membuat Aryan segera menggelengkan kepala.
            “Apa-apaan, nih! Aku nggak butuh yang beginian!” tolak Aryan.
            “kamu butuh, Ar. Kamu butuh ini buat biaya pengobatan Ibu kamu dan pendidikan kamu sama adik kamu.” kata Zya sambil tetap menyodorkan cek itu kepada Aryan.
            “Aku memang butuh uang buat biaya pengobatan Ibu aku. Tapi kalo masalah pendidikan aku.. itu nggak penting! Yang jelas, adik aku bisa sekolah. Biarin aja aku titip impian aku ke dia. Dan soal itu semua, aku bisa cari pekerjaan yang lebih banyak. Pokoknya apa aja, yang penting halal!” kata Aryan yang tetap bersikukuh untuk menolak pemberian Zya.
            “Kamu punya impian tersendiri. Adik kamu juga begitu. Kamu berhak meraih impian kamu sendiri. Siapa tahu dengan kamu sekolah lebih tinggi, kehidupan kamu akan lebih baik nantinya. Kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih layak.” bujuk Zya
            “Tapi.. bagaimana dengan orang tua kamu? Mereka setuju dengan hal ini?” tanya Aryan. Zya mengangguk tegas.
            “Aku udah kasih tahu mereka dan responnya juga baik.” jawab Zya. Aryan merenung sejenak. Kata-kata Zya terus terngiang di telinganya. Dengan perasaan ragu, Aryan mengambil cek itu dari tangan Zya. Kini Zya tersenyum tulus. Misinya telah berhasil dilakukannya.
            Aryan sangat bersyukur kepada sang khalik, karena sudah mempertemukannya dengan seorang gadis yang sangat berhati mulia. Ia tak menyangka, pertemuan yang secara tiba-tiba menjadikan awal perubahan hidupnya.
            “Allah melapangkan rezeki bagi orang yang dia kehendaki diantara hamba-hambaNya dan dia pula yang membatasi baginya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Al-‘Ankabut/29:62)

0 komentar:

Posting Komentar