Hidupku
terasa hampa berjalan di tengah kelamnya malam. Hawa dingin yang menyelubungi
tubuhku mengantarkan pikiranku kedalam peristiwa yang dulu pernah terjadi. Awal
kejadian yang telah merubah kehidupanku menjadi sia-sia. Kejadian yang
membuatku seperti orang yang paling bodoh di muka bumi ini. Kini aku hanyalah
seorang gadis yang tak tahu harus berbuat apa lagi. Hal yang terbayang di
benakku tinggal kematian. Aku sudah tidak sanggup melanjutkan kehidupan dalam
keadaan seperti ini. Hingga disinilah aku, di tengah jalan berharap akan ada
seseorang yang menabrakku. Aku tak kuasa menahan tangisku saat ada sebuah mobil
melaju dengan kecepatan tinggi sambil terus membunyikan klakson mobilnya. Aku
sudah tidak peduli lagi akan hal itu. Aku mulai memejamkan mataku, menarik
napas dengan pasrah. Sampai kudengar deruman mobil itu semakin dekat, tiba-tiba
tubuhku terasa mendapatkan dorongan yang keras hingga tubuhku terpentang ke
arah trotoar. Aku menoleh pada seseorang yang telah mendorongku tadi. Wanita
setengah baya yang dibalut pakaian muslimah. Ia pun juga menoleh ke arahku lalu
segera menghampiriku.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya ibu
itu. Aku menggeleng cepat dan seketika itu pun emosiku pecah. “Ibu kenapa
nolongin saya!? Ibu kenapa tidak membiarkan saya mati!? Saya ingin mati, Bu!
Saya ingin mati!!” ucapku hampir setengah sadar.
“Astagfirullahaladziim, Nak. Kamu
jangan berpikiran seperti itu! Jangan kamu pikir dengan kamu mati bunuh diri
masalah kamu akan selesai? Tidak! Itu hanya akan menambah dosa kamu.” kata ibu
itu sambil merengkuhku. Aku tak berusaha melepaskan rengkuhannya karena itu
membuatku seperti merasakan hal yang selama ini
telah hilang dariku.
“Nak, sekarang sudah malam.
Sebaiknya kamu ikut ke rumah ibu saja dulu. Ayo, Nak!” lanjut ibu itu sambil
berdiri untuk memapahku. Aku pun menuruti perintahnya. Sebaiknya memang begitu,
karena aku sudah tidak punya tempat lagi untuk pulang. Kami segera melangkah
menuju arah jalan ke rumah ibu itu.
****
“Ini tehnya, Nak. Diminum, yah.”
ucap ibu itu sambil meletakkan secangkir teh hangat di atas meja ruang tamu.
Aku sekarang telah berada di dalam rumah
ibu yang telah menyelamatkanku tadi. Rumah yang tidak begitu luas, tapi tidak
begitu sempit juga. Di rumah ini terdapat dua kamar, namun aku hanya melihat
ibu ini sendiri. Setelah beberapa saat, aku menyeruput secangkir tehku. Hal itu
membuatku sedikit lebih baik.
“Terima kasih, Bu.” ucapku sopan
lalu meletakkan secangkir tehku kembali ke atas meja.
“Hm.. Nak, sebenarnya kamu kenapa?
Kenapa kamu berani berbuat nekat seperti tadi? Memangnya orang tuamu kemana?”
tanya ibu itu lembut. Aku merenung sejenak. Haruskah aku ceritakan kisahku
kepada ibu ini? Namun tidak ada salahnya juga jika aku ceritakan. Siapa sangka
aku bisa mendapatkan sedikit pencerahan dari ibu ini? Aku menghela napas
panjang. “Ceritanya panjang, Bu. Enam bulan yang lalu, saya masuk ke salah satu
SMA di Makassar. Saat itu hidup saya baik-baik saja. Saya hidup bersama ibu
saya karena ayah saya telah meninggal sejak saya masih SMP. Namun pergaulan dengan
teman-teman saya yang membuat awal dari kehancuran hidup saya. Semenjak saya
bergaul dengan teman-teman SMA saya, saya sering keluyuran nggak jelas, pulang
malam, bahkan bolos sekolah. Hingga suatu saat, ibu saya melarang saya untuk
bergaul dengan mereka lagi karena perubahan sikap saya.
Saat itu saya marah besar dengan ibu saya.
Teman yang saya anggap adalah teman yang paling baik bagi saya malah harus
dijauhi. Belum lagi saya memiliki seorang pacar yang sangat saya cintai. Hingga
saya rela melakukan apapun demi dia, termasuk meninggalkan ibu saya yang waktu
itu ternyata sedang sakit keras. Mulai dari saat itu, saya tidak pernah lagi ke
sekolah. Kerjaan saya hanya nongkrong-nongkrong bersama teman-teman saya,
melakukan hal yang tidak berguna, hanya sekedar mencari kesenangan belaka.
Beberapa
bulan kemudian, saya mendapat berita bahwa ibu saya meninggal dunia. Saya
sangat terpukul akan hal itu. Saya merasa sangat bersalah dan menyesal. Tapi,
godaan dari teman-teman saya yang seakan mempunyai kekuatan yang lebih besar
membuat saya jadi mengacuhkan hal itu. Kehidupan saya kembali seperti biasa.
Sampai akhirnya, saya merasa sedikit demi sedikit teman-teman saya mulai
menjauhi saya. Entah apa penyebabnya, saya mulai merasa sendiri. Dan dimalam
inilah saya mendapatkan jawaban dari segala keganjilan yang saya alami.”
ceritaku terhenti sejenak oleh isakanku
yang semakin menjadi-jadi. Ibu itu segera memelukku dengan penuh rasa
empati. Aku bisa merasakan kehangatan yang ditransferkannya untukku.
“Pacar
yang selama ini sangat saya cintai ternyata tidaklah mencintai saya. Begitu
pula dengan teman-teman saya. Tujuan awal mereka mendekati saya adalah untuk
membuat hidup saya menderita. Sahabat saya dari SMP, Anggika, mengaku iri
dengan saya. Saya yang selalu menjadi siswi yang berprestasi dan menjadi murid
kesayangan dari setiap guru. Dan lagi, orang yang dia suka ternyata menyukai
saya. Maka dari itu dia ingin membalas dendam dengan saya.
Dia
juga merebut pacar yang selama ini saya anggap baik. Kini saya hanya sebatang
kara, saya tidak tahu lagi untuk apa saya hidup.” sambungku dengan masih
terisak. Ibu itu melepaskan pelukannya.
“Kamu tidak boleh beranggapan
seperti itu, Nak. Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang, tugasmu adalah
memperbaiki kesalahan yang telah kamu perbuat. Mulai sekarang, kamu bisa
tinggal disini bersama ibu.” ucap ibu itu.
“Lho, memangnya keluarga ibu
dimana?” tanyaku.
“Anak dan suami ibu telah pergi
akibat kecelakaan pesawat yang menimpa mereka dua tahun yang lalu.” terang ibu
itu. Suaranya tiba-tiba melemah. Aku mengusap-usap pundaknya. “Oh iya, ibu
belum tahu nama kamu. Nama kamu siapa?” tanya ibu itu.
“Nama saya Alina, Bu. Kalau ibu,
namanya siapa?” balasku.
“Nama ibu, Marissa.” jawabnya. “Nak,
kalau kamu bisa melakukan apapun demi cintamu terhadap sesama manusia, berarti kamu
juga harus rela melakukan apa yang diperintahkan oleh sang pencipta. Perlu kamu
ketahui, tingkatan cinta yang paling atas adalah cinta kepada Allah swt., Tuhan
semesta alam. Cinta yang akan membuatmu jauh lebih baik. Mulailah dulu dari hal
yang kecil, menutup aurat, sholat, mengaji, dan kembali bersekolah.” ucap ibu
Marissa. Aku pun mengangguk dengan mantap. Aku tak akan mensia-siakan
kesempatan ini lagi. Aku akan berubah menjadi yang lebih baik.
****
Satu tahun kemudian..
Alina
berjalan keluar dari salah satu restoran kecil yang ada di Makassar.
Pandangannya terpaut pada layar kaca hp-nya. Tanpa sengaja ia menabrak seorang
gadis yang kira-kira umurnya sebaya dengannya.
“Eh.. sorry, aku nggak sengaja.”
sahutnya lalu mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang ditabraknya. “He-eh,
Anggika? Apa kabar?” ucapnya tak percaya.
“Alina? Hm.. kamu gimana?” tanya
Anggika yang tampak jelas menyembunyikan rasa canggungnya.
“Baik. Gimana dengan Verrel?” ucap
Alina lagi. Ya, Verrel. Orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup
Alina.
“Oh.. dia, sekarang dipenjara karena
kedapatan nge-drugs!” ucap Anggika.
Raut wajahnya berubah menjadi gelisah.
“Astagfirullahaladziim.. tapi, kamu
nggak apa-apa, kan?” tanya Alina dengan perhatian yang tulus. Anggika tak kuasa
menahan tangisnya. Ia lalu memeluk Alina.
“Lin, maafin aku ya. Selama ini aku
udah nyakitin kamu. Aku sangat menyesal akan hal itu. Asal kamu tahu, aku
sekarang terjangkit virus HIV.” ucap Anggika sambil tersedu-sedu. Alina segera
membalas pelukannya. Alina tak percaya akan hal yang menimpanya, tapi itulah
yang terjadi. Tapi di satu sisi, Alina bersyukur karena Allah masih melindungi
dirinya dari hal-hal yang tak diinginkan. Andai Alina belum mendapat hidayah,
mungkin saja ia juga akan terjerumus dalam kesesatan. Maka dari itu ia selalu
percaya, orang yang baik akan mendapatkan teman dan kehidupan yang baik pula.
Entah itu sekarang atau suatu saat nanti.
0 komentar:
Posting Komentar