CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 01 April 2014

HEART

Aqhila mengusap air matanya. Gadis berusia 20 tahun itu sedang meratapi kehidupannya di sebuah taman kecil dan sepi. Disitulah tempat ia selalu menyendiri, meluapkan semua isi hatinya pada buku diary-nya.
            Mengapa aku harus terlahir dalam keadaan seperti ini? Apa salahku, Tuhan?semua teman-teman dan orang-orang disekitarku menjauhi serta memperolok-olokku. Aku terima itu, Tuhan. Akan tetapi, kenapa harus keluargaku juga yang ikut menjauhiku? Mereka seakan-akan malu mempunyai anggota keluarga sepertiku. Bahkan orang tuaku seperti tak pernah menganggapku sebagai anak. Sehinah itukah diriku, Tuhan? Aku sadar akan keadaanku. Gadis lumpuh dan bisu yang tak berdaya, gadis yang tak pernah diharapkan ada di dunia ini. Lalu untuk apa sebenarnya aku hidup? Tuhan, tolong berikan jawaban untuk semua ini!
Sekali lagi Aqhila mengusap air matanya yang sebagian telah membasahi buku diary-nya itu. Aqhila menatap sekeliling taman itu sejenak, lalu beranjak pergi.
.....
            “Ibu...! Bu, Ibu dimana sih?” teriak Ashila, saudara kembar Aqhila.
            “Iya, sayang. Ada apaan? Kok, heboh banget?” tanya Ibu sambil melangkah ke arah Ashila.
            “Ini lho, Bu. Aku menang sebagai model terpopuler di tahun ini!” kata Ashila lalu memberikan memberikan sebuah majalah remaja yang terkenal kepada Ibunya.
            “Wah, kamu hebat, sayang! Kamu emang anak Ibu yang paling hebat!” kata Ibu bangga. Aqhila pun datang menghampiri mereka bermaksud untuk memberi ucapan selamat kepada Ashila. Dengan tersenyum, Aqhila bertepuk tangan sambil mengacungkan kedua jempol lalu mengulurkan  tangan ke arah Ashila.
            “Apa-apaan, nih! lo ngapain disini?! Cewek cacat nggak tahu malu!!” bentak Ashila. Aqhila sontak terkaget dan langsung menundukkan kepala.
            “Udahlah, sayang. Ngapain ngeladenin anak nggak berguna kayak begini! Yang kerjanya Cuma bisa bikin susah orang, bikin malu keluarga!!” kata Ibu.
            “Kenapa ini? Ayah baru datang kok sudah pada ribut?” kata ayah yang baru saja pulang dari kantor.
            “Ayah!! Ayah harus dengar berita gembira ini!” kata Ashila dengan penuh semangat tanpa memedulikan Aqhila lagi.
            “Berita gembira apa?” tanya Ayah.
            “Aku jadi pemenang model terpopuler tahun ini!!” seru Ashila yang semakin semangat.
            “Nah, ini baru namanya anak Ayah. Anak yang bikin bangga keluarga,berprestasi. Bukan anak cacat yang hanya duduk di kursi roda tak ada arti!!” sahut Ayah dengan senyum bangga lalu menyindir Aqhila. Aqhila masih tertunduk lesu.
            “Iya dong, Yah. Anak siapa dulu?” kata Ibu sembari mengusap kepala Ashila.
            “Pastinya anak Ayah dan Ibu.” kata Ashila. Mereka pun tertawa bersama. Sedangkan Aqhila memilih untuk pergi meninggalkan tempat itu dengan menahan tangis.
Aqhila pergi menuju taman seperti biasanya untuk menumpahkan semua kesedihannya. Semilir angin sore membuat rambut panjang Aqhila terkibaskan. Ia menikmati hembusan angin itu. Kemudian Aqhila mulai menulisi diary-nya.
            Ayah, Ibu, kenapa kalian melakukan hal ini kepadaku? Segitu bencinyakah kalian? Ayah, Ibu, aku tak  pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi dalam keadaan cacat seperti ini. Aku paham akan kekecewaan kalian terhadap aku. Kalian memang seharusnya lebih bangga kepada Ashila. Tapi haruskah  kalian menelantarkan aku? Ayah, Ibu, aku juga butuh kasih sayang. Aku butuh perhatian dari kalian. Tidakkah pemikiran itu terbersit di hati kalian? Saat kalian membandingkan aku dengan Ashila, tidakkah kalian berpikir tentang hatiku yang hancur? Andaikan Ayah dan Ibu tahu, aku sangat ingin membuat kalian bangga. Tapi, apakah yang harus aku lakukan? Tuhan, tolong kirim jawaban dari segala pertanyaanku ini.
Aqhila mengusap air matanya yang kesekian kalinya. Tiba-tiba ada seorang cowok menghampirinya.
            “Hai.. boleh minta waktunya bentar, nggak?” sapa cowok itu. Aqhila mendongakkan kepalanya lalu menatap cowok itu dan tersenyum sambil mengangguk. Cowok itu kemudian duduk di bangku taman samping kursi roda Aqhila.
            “Gue Karel. Nama lo siapa?” tanya cowok itu sembari mengulurkan tangannya. Aqhila menerima uluran tangan itu lalu menulis sesuatu di belakang buku diary-nya. Cowok itu menatap Aqhila heran. Aku bisu. Nama aku Aqhila, ada apa? Karel membaca apa yang ditulis Aqhila.
            “Oh, maaf. Gue nggak bermaksud.”kata Karel. Aqhila pun tersenyum maklum.
            “Hm.. gue kesini pengen nawarin lo sesuatu. Gue pengen ngajakin lo lomba nulis cerpen. gue lihat, kayaknya tadi lo lagi nulis diary. Biasanya orang kayak gitu jago nulis.” kata Karel. Aqhila hanya menatapnya datar.
            “Oh,iya. Dengan ikut lomba ini, kita juga bisa membantu sesama. Setiap orang yang ikut lomba ini layaknya memberikan donasi sebesar Rp.10.000,00. Maksudnya, setiap orang yang ikut lomba ini, panitia berjanji akan memberikan donasi yang akan dikumpulkan untuk diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung. Jadi, semakin banyak orang yang ikut lomba ini, akan semakin banyak donasi yang terkumpulkan.”jelas Karel panjang lebar seolah mengerti tatapan Aqhila. Aqhila pun mengembangkan senyumnya.
            “Eergh.. lo mau ikut lomba ini, kan?” tanya Karel. Aqhila pun menulis lagi. Tentu saja. Aku juga mau bantu kamu nawarin ke orang-orang buat ikut lomba ini, boleh? Karel pun membacanya.
            “Hahaha.. gue nggak bakalan nawarin ke orang satu-satu, kali. Tadi gue cuma nggak sengaja ngeliat lo disini. Ya, apa salahnya coba nawarin ke elo. Tapi, kalo lo mau, lo bisa ikut gue ke yayasan anak-anak kanker dan anak-anak cacat. Katanya mereka juga pengen ikut lomba ini. Mereka juga pengen membantu sesama. Mereka pengen membantu orang yang lebih membutuhkan.” Ajak Karel. Aqhila dengan cepat mengangguk.
            “Ya udah, ayo kita pergi.” kata Karel sambil mendorong kursi roda Aqhila.
....
            “Kak Kareell!!” seru anak-anak yayasan. Senyum ceria terpancar dari wajah mereka.
            “Hai, adek-adek. Apa kabar?” kata Karel sembari berbaur dengan mereka.
            “Baik, kak.” balas mereka serempak.
            “Oh iya, Adek-adek. Kenalin, ini kak Aqhila, temen kakak.” kata karel memperkenalkan Aqhila.
             “Hai, kak Aqhila.” sapa mereka semua. Aqhila hanya tersenyum ramah lalu melambaikan tangannya. Anak-anak itu pun heran dengan tingkah laku Aqhila.
            “Adek-adek, kak Aqhila ini juga orang istimewa seperti kalian.” kata Karel seolah mengerti perasaan anak-anak itu.
            “Nah, sekarang kakak mau lihat hasil cerpen dari kalian.” seru Karel berusaha mencairkan suasana. Anak-anak itu langsung menyerbu Karel dan Aqhila dengan masing-masing membawa buku tulis ditangannya. Mereka terlihat sangat gembira termasuk Aqhila. Dia belum pernah merasakan kehangatan layaknya keluarga seperti ini. Kejadian ini adalah hal yang sangat berharga baginya. Ia tak akan melupakan kejadian ini.
....
Akhir-akhir ini, hidup Aqhila terasa lebih berarti. Ia sudah lebih sering tersenyum. Semenjak pertemuan pertamanya dengan Karel, ia semakin hari semakin akrab dengannya. Aqhila selalu menemani Karel ke tempat komunitas para penulis. Ia merasa bahagia karena dengan mengajak orang-orang untuk mengikuti lomba menulis cerpen waktu itu sama halnya dengan membantu orang-orang untuk mengumpulkan donasi bagi kaum yang membutuhkan. Ia merasa lebih berguna.
....
Hari ini di rumah Aqhila terasa sangat mengejutkan. Ashila yang telah berhari-hari demam tinggi, tadi pagi sudah tidak dapat menelan makanan. Tenggorokannya terasa sangat sakit. Bahkan untuk meminum air pun sudah sangat susah. Ashila segera dilarikan kerumah sakit.
Setelah pengecekan, ternyata Ashila divonis kanker hati. Dirumah, kedua orang tua Aqhila dan Ashila sibuk memikirkan kesembuhan Ashila. Ashila harus membutuhkan pendonor hati. Tentu saja itu tidak mudah untuk didapatkan. Sementara aqhila bingung, apakah dia harus sedih atau senang? Dia sedih karena kasihan akan penyakit yang diderita Ashila. Tapi, dia bisa senang karena ada sedikit kemungkinan kedua orang tuanya akan memberikan kasih sayang kepadanya. Ya, hanya sedikit kemungkinan.
            Di saat makan malam, Ayah memberitahukan kepada semuanya kalau dia akan berjanji memberikan uang sebesar 500 juta kepada orang  yang ingin mendonorkan  hatinya untuk Ashila dan berita ini akan disebarkan dikoran besok. Aqhila tersentak kaget, lalu sekilas melihat reaksi Ibu. Dia tetap tenang sambil melanjutkan makannya (Ashila sedang beristirahat di dalam kamarnya). Aqhila berpikir sejenak, seketika menyunggingkan senyumnya.
....
            “Halo, iya betul. Saya Bapak Herman. Ada apa?” tanya Ayah kepada seseorang yang ada di seberang telepon.
            “Apa?! Anda serius? Baiklah kami akan segera melakukannya. Terima kasih” kata Ayah histeris. Ternyata telepon itu dari seorang staf rumah sakit. Dia mengatakan bahwa Ashila telah mendapatkan pendonor hati. Ayah pun segera memberitahu Ibu dan Ashila.
            Seperti yang diduga, keduanya tampak lebih histeris. Proses operasi akan secepatnya dilakukan.
            Di taman, Aqhila duduk menyendiri sambil menulisi diary-nya.
            Mungkin, hari ini adalah hari terakhir aku menghirup udara di dunia ini. Tuhan, mungkin tidak lama lagi aku akan kembali kepadamu. Aku tidak sabar menunggu saat itu tiba. Aku sekarang bisa lega. Bila saat aku pergi, aku bisa pergi dengan tenang. Aku lega karena semua pertanyaan-pertanyaan dalam hidupku akan terjawab nantinya. Tuhan, terima kasih engkau telah mengirim segala jawaban itu untukku. Dan yang paling penting, aku tahu alasan aku hidup di dunia ini.
Aqhila menutup buku diary-nya. Untuk pertama kali ini ia menulis dengan senyum tulus dan ikhlas di wajahnya. Aqhila kemudian membayangkan kejadian yang kemarin terjadi. Saat Aqhila duduk murung ditaman, tiba-tiba Karel datang sambil membawa sesuatu. Karel memberikan Aqhila sebuah Al-qur’an.
            “Disaat lo sedih, itu tandanya hati lo lagi kelam. Hati lo lagi gelap gulita. Disaat itu pula hati lo butuh penerangan. Coba deh, lo baca ayat-ayat al-qur’an ini, dijamin pasti hati lo bakalan langsung tenteram. Ketika lo membacanya, hati lo seakan-akan langsung bersinar menggantikan gelap gulita itu.” kata Karel sembari menatap Aqhila disertai senyumnya yang indah. Aqhila cekat menulis sesuatu dibelakang buku diary-nya, Terima kasih. Kemudian membalas senyum Karel dengan tak kalah indahnya.
....
Hari ini adalah hari yang ditunggu oleh Aqhila, kedua orangtuanya, maupun Ashila. Hari ini tepat Ashila akan dioperasi. Mereka pun (minus Aqhila) sedang menuju rumah sakit. Sedangkan Aqhila telah lebih dahulu kesana.
            Di saat Ashila telah akan dioperasi, Ayah menanyakan siapa pendonor hati Ashila kepada dokter.
            “Maaf sekali, Pak. Pendonor berpesan agar tidak memberitahukan identitasnya sebelum proses operasi selesai.” kata dokter.
            “Aneh sekali, tapi baiklah.” Balas Ayah. Proses operasi segera dilaksanakan. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi dan menyatakan bahwa operasi berjalan dengan sukses.
            “Ini, Pak. Pendonor memberikan surat ini sebelum melakukan operasi.” Kata dokter lalu memberikan tiga lembar surat. Ayah dan Ibu mengambil surat itu. Surat pertama bertuliskan ‘Ayah dan Ibu’, surat kedua bertuliskan ‘Ashila’, dan surat terakhir bertuliskan ‘Karel’. Ayah dan Ibu tersentak kaget, kemudian segera membaca surat untuk mereka.
            Ayah, Ibu, terima kasih telah menghadirkanku ke dunia ini. Dunia yang begitu indah. Ayah, Ibu, aku harap setelah kalian membaca surat ini, kalian akan bangga kepadaku. Aku ingin untuk pertama dan terakhir kalinya kalian bisa bangga kepadaku. Ayah, Ibu, kalau aku boleh jujur, aku sangat menderita saat harus merasa terasingkan dalam keluarga ini. Aku sangat mengimpikan kasih sayang kalian. Aku butuh perhatian kalian. Sekarang, hati aku berada di dalam tubuh Ashila. Aku mohon sama kalian agar menumpahkan seluruh kasih sayang kalian untuk Ashila. Ayah, Ibu, tolong jaga hati aku. Tolong jangan buat hati aku luka lagi. Cukup hal itu terjadi sekali. Ayah, Ibu, aku mencintai kalian.
            Oh iya, Ayah. Soal janji Ayah tentang uang sebesar 500 juta itu tolong sumbangkan ke yayasan anak kanker dan anak cacat yah. Mereka sangat membutuhkan itu untuk biaya pengobatan dan pendidikan mereka.
                                                                                   
                                                                                    Aqhila.
Ibu tak kuasa menahan tangisnya. Ayah merasa sekujur tubuhnya menjadi lemah terkulai. Mengapa harus penyesalan yang datang belakangan. Penyesalan yang semestinya mereka sadari sedari dulu. Begitu bodohnya mereka mensia-siakan anak yang begitu spesial. Namun, semua penyesalan itu tiada gunanya lagi. Mereka sekarang hanya bisa melakukan apa yang diharapkan Aqhila.
            Ashila sekarang telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ashila melihat mata Ibunya sembab. Ashila juga melihat Ayahnya murung di atas sofa.
            “Ibu sama Ayah kenapa? Nggak senang liat aku sembuh?” tanya Ashila.
Ibu menggeleng dan menyunggingkan seulas senyum. Ibu kemudian memberikan secarik kertas kepada Ashila. Itu adalah surat dari Aqhila. Ashila menatap surat itu lalu membacanya.
            Hai, Ashila. Semoga saat kamu baca surat dari aku, kamu sudah dalam keadaan yang lebih baik yah. Ashila, kamu adalah kakak kembarku yang paling hebat. Kamu selalu membuat semua orang disekitarmu menjadi bangga sama kamu. Terutama Ayah dan Ibu. Mereka begitu bahagia mempunyai anak seperti kamu. Kamu memang pantas akan hal itu. Ashila, aku harap dengan sembuhnya kamu, kamu bisa mewujudkan segala impianmu, impianku, dan impian Ayah sama Ibu. Aku mohon Ashila, jangan pernah buat Ayah sama Ibu kecewa. Karena aku tidak ingin kekecewaan mereka itu terjadi kembali. Ashila, aku titip Ayah dan Ibu yah. Dan terakhir, yang harus kamu tahu adalah aku sangat menyayangimu.

                                                                                    Aqhila.
Ashila menutup surat itu kemudian menatap Ibu dengan tatapan -aku-butuh-penjelasan-. Seolah mengerti tatapan itu, Ibu lalu menangis sambil memeluk Ashila.
            “Sayang, Aqhila mendonorkan hatinya untuk kamu.” kata Ibu. Seakan tak percaya, tangis Aqhila pun pecah.
            “Nggak mungkin, Bu. Nggak mungkin!! Nggak mungkin Aqhila sebaik itu. Aku selalu menyakitinya, Bu!” bantah Ashila.
            “Aqhila menolongmu dengan tulus, Nak. Dia sama sekali tidak mempunyai dendam kepadamu.” kata Ibu berusaha menenangkan Ashila. Tidak lama kemudian emosi Ashila pun mereda. Suasana hening sejenak.
            “Oh, iya. Ada satu surat lagi yang tulisannya buat orang yang namanya karel. Siapa yah orang ini?” kata Ibu memecahkan keheningan.
            “Hm.. kayaknya aku tahu dia, deh. Aku pernah liat seorang cowok ditaman dekat rumah bersama Aqhila. Mungkin aja dia orangnya.” Seru Ashila.
            “Ya, nanti kalau begitu kamu temuin orangnya.” kata Ayah kepada Ashila. Ashila pun segera mengangguk.
....
Diatas kursi taman yang sepi, Karel duduk dengan tampang gelisah. Cowok berpostur tubuh tinggi kurus itu akhir-akhir iniselalu mendatangi sebuah taman dekat rumah Aqhila untuk menemui Aqhila. Akan tetapi tujuan itu nihil. Ia tak pernah lagi bertemu dengan Aqhila setelah hari dimana ia memberikan hadiah untuknya. Ia bingung sekaligus takut tentang segala hal yang terjadi dengan Aqhila. Lama melamun, ia sekilas melihat bayangan seseorang didepannya. Ia memandang wajah orang itu kemudian bangkit dengan senyum lebar.
            “Aqhila! Lo kemana aja? Gue khawatir sama lo!” kata Karel yang tak dapat menyembunyikan kegirangannya.
            “Hm.. sorry. Gue bukan Aqhila. Gue Ashila, kembarannya Aqhila. Lo Karel, kan?” kata Ashila ragu-ragu. Karel baru saja sadar kalu Aqhila orangnya bisu dan lumpuh. Berarti orang yang didepannya ini memang bukan Aqhila.
            “Oh.. iya gue Karel. Aqhilanya mana?” tanya Karel. Seketika ia merasa ada yang ganjil dengan hal ini.
            “Eergh.. Aqhila udah pergi ninggalin kita semua.” Jawab Ashila sambil menundukkan kepala. Sampai kapan pun ia tak akan enak hati karena merasa bersalah. Ia akan selalu merasa mempunyai utang budi yang sangat besar kepada Aqhila.
            “Ap-a? Bagaimana bisa? Dia nggak pernah cerita kalau dia punya penyakit parah.” bantah Karel tak percaya.
            “Emang bukan dia, tapi gue. Gue yang punya penyakit kanker hati. Tapi dialah yang mendonorkan hatinya buat gue.” jelas Ashila. Karel terduduk lesu pada bangku taman. Ia tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya sekarang campur aduk.
            “Sebelum itu, dia nitipin surat ini buat lo.” kata Ashila kemudian memberikan surat dari Aqhila kepada Karel. Karel menerima suratnya dengan lemah. Perlahan ia membuka surat itu.
            Karel, makasih yah udah hadir dalam kehidupan aku. Aku bersyukur karena bisa sempat kenal dengan kamu. Kamu adalah orang yang dapat merubah hidup aku menjadi lebih bermakna. Kamu mengajarkan aku tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Mungkin, kamu adalah orang yang dikirim Tuhan untuk menjawab seluruh pertanyaanku. Pertanyaan untuk tujuan hidupku. Sekali lagi makasih untuk semuanya. Dan yang paling penting, kamu harus tahu kalau kamu adalah hal yang sangat berarti bagi aku.

                                                                                    Aqhila.
Karel menutup suratnya dengan tenang.
            “Dia adalah sosok seorang malaikat.” kata Karel dengan pandangan lurus kedepan.
            “Lo bener. Dia adalah malaikat bagi keluarga gue. Tapi malaikat itu udah pergi, terbang jauh!” balas Ashila kemudian duduk disamping Karel.
            “Dia pasti udah tenang dialam sana.” kata Karel. Ashila membalas dengan anggukan.
            “Hm.. lo mau nggak bantuin gue sama orang tua gue buat menuhin permintaan terakhir Aqhila?” tanya Ashila.
            “Permintaan apa?” Karel balas bertanya.
            “Dia pengen ngasih sumbangan buat anak-anak yang ada di yayasan anak kanker dan cacat.” Jawab Ashila.
            “Pasti!” kata Karel sambil tersenyum. Keduanya kemudian bangkit lalu meninggalkan taman itu.
            Jauh dari dunia yang begitu fana, Aqhila melihat segalanya sambil tersenyum cerah. Kebahagiaan sesungguhnya telah ia dapat ketika ia menemukan orang yang disayanginya itu bahagia karenanya.


0 komentar:

Posting Komentar