Mengapa aku harus terlahir dalam keadaan
seperti ini? Apa salahku, Tuhan?semua teman-teman dan orang-orang disekitarku
menjauhi serta memperolok-olokku. Aku terima itu, Tuhan. Akan tetapi, kenapa
harus keluargaku juga yang ikut menjauhiku? Mereka seakan-akan malu mempunyai
anggota keluarga sepertiku. Bahkan orang tuaku seperti tak pernah menganggapku
sebagai anak. Sehinah itukah diriku, Tuhan? Aku sadar akan keadaanku. Gadis
lumpuh dan bisu yang tak berdaya, gadis yang tak pernah diharapkan ada di dunia
ini. Lalu untuk apa sebenarnya aku hidup? Tuhan, tolong berikan jawaban untuk
semua ini!
Sekali lagi Aqhila mengusap air matanya
yang sebagian telah membasahi buku diary-nya itu. Aqhila menatap sekeliling
taman itu sejenak, lalu beranjak pergi.
.....
“Ibu...! Bu, Ibu
dimana sih?” teriak Ashila, saudara kembar Aqhila.
“Iya,
sayang. Ada apaan? Kok, heboh banget?” tanya Ibu sambil melangkah ke arah
Ashila.
“Ini
lho, Bu. Aku menang sebagai model terpopuler di tahun ini!” kata Ashila lalu
memberikan memberikan sebuah majalah remaja yang terkenal kepada Ibunya.
“Wah,
kamu hebat, sayang! Kamu emang anak Ibu yang paling hebat!” kata Ibu bangga.
Aqhila pun datang menghampiri mereka bermaksud untuk memberi ucapan selamat
kepada Ashila. Dengan tersenyum, Aqhila bertepuk tangan sambil mengacungkan
kedua jempol lalu mengulurkan tangan ke
arah Ashila.
“Apa-apaan,
nih! lo ngapain disini?! Cewek cacat nggak tahu malu!!” bentak Ashila. Aqhila
sontak terkaget dan langsung menundukkan kepala.
“Udahlah,
sayang. Ngapain ngeladenin anak nggak berguna kayak begini! Yang kerjanya Cuma
bisa bikin susah orang, bikin malu keluarga!!” kata Ibu.
“Kenapa
ini? Ayah baru datang kok sudah pada ribut?” kata ayah yang baru saja pulang
dari kantor.
“Ayah!!
Ayah harus dengar berita gembira ini!” kata Ashila dengan penuh semangat tanpa
memedulikan Aqhila lagi.
“Berita
gembira apa?” tanya Ayah.
“Aku
jadi pemenang model terpopuler tahun ini!!” seru Ashila yang semakin semangat.
“Nah,
ini baru namanya anak Ayah. Anak yang bikin bangga keluarga,berprestasi. Bukan
anak cacat yang hanya duduk di kursi roda tak ada arti!!” sahut Ayah dengan
senyum bangga lalu menyindir Aqhila. Aqhila masih tertunduk lesu.
“Iya
dong, Yah. Anak siapa dulu?” kata Ibu sembari mengusap kepala Ashila.
“Pastinya
anak Ayah dan Ibu.” kata Ashila. Mereka pun tertawa bersama. Sedangkan Aqhila
memilih untuk pergi meninggalkan tempat itu dengan menahan tangis.
Aqhila pergi menuju taman seperti
biasanya untuk menumpahkan semua kesedihannya. Semilir angin sore membuat rambut
panjang Aqhila terkibaskan. Ia menikmati hembusan angin itu. Kemudian Aqhila
mulai menulisi diary-nya.
Ayah, Ibu, kenapa kalian melakukan
hal ini kepadaku? Segitu bencinyakah kalian? Ayah, Ibu, aku tak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi
dalam keadaan cacat seperti ini. Aku paham akan kekecewaan kalian terhadap aku.
Kalian memang seharusnya lebih bangga kepada Ashila. Tapi haruskah kalian menelantarkan aku? Ayah, Ibu, aku juga
butuh kasih sayang. Aku butuh perhatian dari kalian. Tidakkah pemikiran itu
terbersit di hati kalian? Saat kalian membandingkan aku dengan Ashila, tidakkah
kalian berpikir tentang hatiku yang hancur? Andaikan Ayah dan Ibu tahu, aku
sangat ingin membuat kalian bangga. Tapi, apakah yang harus aku lakukan? Tuhan,
tolong kirim jawaban dari segala pertanyaanku ini.
Aqhila mengusap air matanya yang
kesekian kalinya. Tiba-tiba ada seorang cowok menghampirinya.
“Hai..
boleh minta waktunya bentar, nggak?” sapa cowok itu. Aqhila mendongakkan
kepalanya lalu menatap cowok itu dan tersenyum sambil mengangguk. Cowok itu
kemudian duduk di bangku taman samping kursi roda Aqhila.
“Gue
Karel. Nama lo siapa?” tanya cowok itu sembari mengulurkan tangannya. Aqhila
menerima uluran tangan itu lalu menulis sesuatu di belakang buku diary-nya.
Cowok itu menatap Aqhila heran. Aku bisu.
Nama aku Aqhila, ada apa? Karel membaca apa yang ditulis Aqhila.
“Oh,
maaf. Gue nggak bermaksud.”kata Karel. Aqhila pun tersenyum maklum.
“Hm..
gue kesini pengen nawarin lo sesuatu. Gue pengen ngajakin lo lomba nulis
cerpen. gue lihat, kayaknya tadi lo lagi nulis diary. Biasanya orang kayak gitu
jago nulis.” kata Karel. Aqhila hanya menatapnya datar.
“Oh,iya.
Dengan ikut lomba ini, kita juga bisa membantu sesama. Setiap orang yang ikut
lomba ini layaknya memberikan donasi sebesar Rp.10.000,00. Maksudnya, setiap
orang yang ikut lomba ini, panitia berjanji akan memberikan donasi yang akan
dikumpulkan untuk diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung. Jadi,
semakin banyak orang yang ikut lomba ini, akan semakin banyak donasi yang
terkumpulkan.”jelas Karel panjang lebar seolah mengerti tatapan Aqhila. Aqhila
pun mengembangkan senyumnya.
“Eergh..
lo mau ikut lomba ini, kan?” tanya Karel. Aqhila pun menulis lagi. Tentu saja. Aku juga mau bantu kamu nawarin
ke orang-orang buat ikut lomba ini, boleh? Karel pun membacanya.
“Hahaha..
gue nggak bakalan nawarin ke orang satu-satu, kali. Tadi gue cuma nggak sengaja
ngeliat lo disini. Ya, apa salahnya coba nawarin ke elo. Tapi, kalo lo mau, lo
bisa ikut gue ke yayasan anak-anak kanker dan anak-anak cacat. Katanya mereka
juga pengen ikut lomba ini. Mereka juga pengen membantu sesama. Mereka pengen
membantu orang yang lebih membutuhkan.” Ajak Karel. Aqhila dengan cepat mengangguk.
“Ya
udah, ayo kita pergi.” kata Karel sambil mendorong kursi roda Aqhila.
....
“Kak
Kareell!!” seru anak-anak yayasan. Senyum ceria terpancar dari wajah mereka.
“Hai,
adek-adek. Apa kabar?” kata Karel sembari berbaur dengan mereka.
“Baik,
kak.” balas mereka serempak.
“Oh
iya, Adek-adek. Kenalin, ini kak Aqhila, temen kakak.” kata karel
memperkenalkan Aqhila.
“Hai, kak Aqhila.” sapa mereka semua. Aqhila
hanya tersenyum ramah lalu melambaikan tangannya. Anak-anak itu pun heran
dengan tingkah laku Aqhila.
“Adek-adek,
kak Aqhila ini juga orang istimewa seperti kalian.” kata Karel seolah mengerti
perasaan anak-anak itu.
“Nah,
sekarang kakak mau lihat hasil cerpen dari kalian.” seru Karel berusaha
mencairkan suasana. Anak-anak itu langsung menyerbu Karel dan Aqhila dengan
masing-masing membawa buku tulis ditangannya. Mereka terlihat sangat gembira
termasuk Aqhila. Dia belum pernah merasakan kehangatan layaknya keluarga
seperti ini. Kejadian ini adalah hal yang sangat berharga baginya. Ia tak akan
melupakan kejadian ini.
....
Akhir-akhir ini, hidup Aqhila terasa
lebih berarti. Ia sudah lebih sering tersenyum. Semenjak pertemuan pertamanya
dengan Karel, ia semakin hari semakin akrab dengannya. Aqhila selalu menemani
Karel ke tempat komunitas para penulis. Ia merasa bahagia karena dengan
mengajak orang-orang untuk mengikuti lomba menulis cerpen waktu itu sama halnya
dengan membantu orang-orang untuk mengumpulkan donasi bagi kaum yang
membutuhkan. Ia merasa lebih berguna.
....
Hari ini di rumah Aqhila terasa sangat
mengejutkan. Ashila yang telah berhari-hari demam tinggi, tadi pagi sudah tidak
dapat menelan makanan. Tenggorokannya terasa sangat sakit. Bahkan untuk meminum
air pun sudah sangat susah. Ashila segera dilarikan kerumah sakit.
Setelah pengecekan, ternyata Ashila
divonis kanker hati. Dirumah, kedua orang tua Aqhila dan Ashila sibuk
memikirkan kesembuhan Ashila. Ashila harus membutuhkan pendonor hati. Tentu
saja itu tidak mudah untuk didapatkan. Sementara aqhila bingung, apakah dia
harus sedih atau senang? Dia sedih karena kasihan akan penyakit yang diderita
Ashila. Tapi, dia bisa senang karena ada sedikit kemungkinan kedua orang tuanya
akan memberikan kasih sayang kepadanya. Ya, hanya sedikit kemungkinan.
Di
saat makan malam, Ayah memberitahukan kepada semuanya kalau dia akan berjanji
memberikan uang sebesar 500 juta kepada orang
yang ingin mendonorkan hatinya
untuk Ashila dan berita ini akan disebarkan dikoran besok. Aqhila tersentak
kaget, lalu sekilas melihat reaksi Ibu. Dia tetap tenang sambil melanjutkan
makannya (Ashila sedang beristirahat di dalam kamarnya). Aqhila berpikir
sejenak, seketika menyunggingkan senyumnya.
....
“Halo,
iya betul. Saya Bapak Herman. Ada apa?” tanya Ayah kepada seseorang yang ada di
seberang telepon.
“Apa?!
Anda serius? Baiklah kami akan segera melakukannya. Terima kasih” kata Ayah
histeris. Ternyata telepon itu dari seorang staf rumah sakit. Dia mengatakan
bahwa Ashila telah mendapatkan pendonor hati. Ayah pun segera memberitahu Ibu
dan Ashila.
Seperti
yang diduga, keduanya tampak lebih histeris. Proses operasi akan secepatnya
dilakukan.
Di
taman, Aqhila duduk menyendiri sambil menulisi diary-nya.
Mungkin, hari ini adalah hari terakhir aku
menghirup udara di dunia ini. Tuhan, mungkin tidak lama lagi aku akan kembali
kepadamu. Aku tidak sabar menunggu saat itu tiba. Aku sekarang bisa lega. Bila
saat aku pergi, aku bisa pergi dengan tenang. Aku lega karena semua
pertanyaan-pertanyaan dalam hidupku akan terjawab nantinya. Tuhan, terima kasih
engkau telah mengirim segala jawaban itu untukku. Dan yang paling penting, aku
tahu alasan aku hidup di dunia ini.
Aqhila menutup buku diary-nya. Untuk
pertama kali ini ia menulis dengan senyum tulus dan ikhlas di wajahnya. Aqhila
kemudian membayangkan kejadian yang kemarin terjadi. Saat Aqhila duduk murung
ditaman, tiba-tiba Karel datang sambil membawa sesuatu. Karel memberikan Aqhila
sebuah Al-qur’an.
“Disaat
lo sedih, itu tandanya hati lo lagi kelam. Hati lo lagi gelap gulita. Disaat
itu pula hati lo butuh penerangan. Coba deh, lo baca ayat-ayat al-qur’an ini,
dijamin pasti hati lo bakalan langsung tenteram. Ketika lo membacanya, hati lo
seakan-akan langsung bersinar menggantikan gelap gulita itu.” kata Karel
sembari menatap Aqhila disertai senyumnya yang indah. Aqhila cekat menulis
sesuatu dibelakang buku diary-nya, Terima
kasih. Kemudian membalas senyum Karel dengan tak kalah indahnya.
....
Hari ini adalah hari yang ditunggu oleh
Aqhila, kedua orangtuanya, maupun Ashila. Hari ini tepat Ashila akan dioperasi.
Mereka pun (minus Aqhila) sedang menuju rumah sakit. Sedangkan Aqhila telah
lebih dahulu kesana.
Di
saat Ashila telah akan dioperasi, Ayah menanyakan siapa pendonor hati Ashila
kepada dokter.
“Maaf
sekali, Pak. Pendonor berpesan agar tidak memberitahukan identitasnya sebelum
proses operasi selesai.” kata dokter.
“Aneh
sekali, tapi baiklah.” Balas Ayah. Proses operasi segera dilaksanakan. Setelah
menunggu beberapa jam, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi dan menyatakan
bahwa operasi berjalan dengan sukses.
“Ini,
Pak. Pendonor memberikan surat ini sebelum melakukan operasi.” Kata dokter lalu
memberikan tiga lembar surat. Ayah dan Ibu mengambil surat itu. Surat pertama
bertuliskan ‘Ayah dan Ibu’, surat kedua bertuliskan ‘Ashila’, dan surat
terakhir bertuliskan ‘Karel’. Ayah dan Ibu tersentak kaget, kemudian segera
membaca surat untuk mereka.
Ayah, Ibu, terima kasih telah menghadirkanku
ke dunia ini. Dunia yang begitu indah. Ayah, Ibu, aku harap setelah kalian
membaca surat ini, kalian akan bangga kepadaku. Aku ingin untuk pertama dan
terakhir kalinya kalian bisa bangga kepadaku. Ayah, Ibu, kalau aku boleh jujur,
aku sangat menderita saat harus merasa terasingkan dalam keluarga ini. Aku
sangat mengimpikan kasih sayang kalian. Aku butuh perhatian kalian. Sekarang,
hati aku berada di dalam tubuh Ashila. Aku mohon sama kalian agar menumpahkan
seluruh kasih sayang kalian untuk Ashila. Ayah, Ibu, tolong jaga hati aku.
Tolong jangan buat hati aku luka lagi. Cukup hal itu terjadi sekali. Ayah, Ibu,
aku mencintai kalian.
Oh iya, Ayah. Soal janji Ayah
tentang uang sebesar 500 juta itu tolong sumbangkan ke yayasan anak kanker dan
anak cacat yah. Mereka sangat membutuhkan itu untuk biaya pengobatan dan
pendidikan mereka.
Aqhila.
Ibu tak kuasa menahan tangisnya. Ayah
merasa sekujur tubuhnya menjadi lemah terkulai. Mengapa harus penyesalan yang
datang belakangan. Penyesalan yang semestinya mereka sadari sedari dulu. Begitu
bodohnya mereka mensia-siakan anak yang begitu spesial. Namun, semua penyesalan
itu tiada gunanya lagi. Mereka sekarang hanya bisa melakukan apa yang
diharapkan Aqhila.
Ashila
sekarang telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ashila melihat mata Ibunya
sembab. Ashila juga melihat Ayahnya
murung di atas sofa.
“Ibu
sama Ayah kenapa? Nggak senang liat aku sembuh?” tanya Ashila.
Ibu menggeleng dan menyunggingkan seulas
senyum. Ibu kemudian memberikan secarik kertas kepada Ashila. Itu adalah surat
dari Aqhila. Ashila menatap surat itu lalu membacanya.
Hai, Ashila. Semoga saat kamu baca surat
dari aku, kamu sudah dalam keadaan yang lebih baik yah. Ashila, kamu adalah
kakak kembarku yang paling hebat. Kamu selalu membuat semua orang disekitarmu
menjadi bangga sama kamu. Terutama Ayah dan Ibu. Mereka begitu bahagia
mempunyai anak seperti kamu. Kamu memang pantas akan hal itu. Ashila, aku harap
dengan sembuhnya kamu, kamu bisa mewujudkan segala impianmu, impianku, dan
impian Ayah sama Ibu. Aku mohon Ashila, jangan pernah buat Ayah sama Ibu
kecewa. Karena aku tidak ingin kekecewaan mereka itu terjadi kembali. Ashila,
aku titip Ayah dan Ibu yah. Dan terakhir, yang harus kamu tahu adalah aku
sangat menyayangimu.
Aqhila.
Ashila menutup surat itu kemudian
menatap Ibu dengan tatapan -aku-butuh-penjelasan-. Seolah mengerti tatapan itu,
Ibu lalu menangis sambil memeluk Ashila.
“Sayang,
Aqhila mendonorkan hatinya untuk kamu.” kata Ibu. Seakan tak percaya, tangis
Aqhila pun pecah.
“Nggak
mungkin, Bu. Nggak mungkin!! Nggak mungkin Aqhila sebaik itu. Aku selalu
menyakitinya, Bu!” bantah Ashila.
“Aqhila
menolongmu dengan tulus, Nak. Dia sama sekali tidak mempunyai dendam kepadamu.”
kata Ibu berusaha menenangkan Ashila. Tidak lama kemudian emosi Ashila pun
mereda. Suasana hening sejenak.
“Oh,
iya. Ada satu surat lagi yang tulisannya buat orang yang namanya karel. Siapa
yah orang ini?” kata Ibu memecahkan keheningan.
“Hm..
kayaknya aku tahu dia, deh. Aku pernah liat seorang cowok ditaman dekat rumah
bersama Aqhila. Mungkin aja dia orangnya.” Seru Ashila.
“Ya,
nanti kalau begitu kamu temuin orangnya.” kata Ayah kepada Ashila. Ashila pun
segera mengangguk.
....
Diatas kursi taman yang sepi, Karel
duduk dengan tampang gelisah. Cowok berpostur tubuh tinggi kurus itu
akhir-akhir iniselalu mendatangi sebuah taman dekat rumah Aqhila untuk menemui
Aqhila. Akan tetapi tujuan itu nihil. Ia tak pernah lagi bertemu dengan Aqhila
setelah hari dimana ia memberikan hadiah untuknya. Ia bingung sekaligus takut
tentang segala hal yang terjadi dengan Aqhila. Lama melamun, ia sekilas melihat
bayangan seseorang didepannya. Ia memandang wajah orang itu kemudian bangkit
dengan senyum lebar.
“Aqhila!
Lo kemana aja? Gue khawatir sama lo!” kata Karel yang tak dapat menyembunyikan
kegirangannya.
“Hm..
sorry. Gue bukan Aqhila. Gue Ashila, kembarannya Aqhila. Lo Karel, kan?” kata
Ashila ragu-ragu. Karel baru saja sadar kalu Aqhila orangnya bisu dan lumpuh.
Berarti orang yang didepannya ini memang bukan Aqhila.
“Oh..
iya gue Karel. Aqhilanya mana?” tanya Karel. Seketika ia merasa ada yang ganjil
dengan hal ini.
“Eergh..
Aqhila udah pergi ninggalin kita semua.” Jawab Ashila sambil menundukkan
kepala. Sampai kapan pun ia tak akan enak hati karena merasa bersalah. Ia akan
selalu merasa mempunyai utang budi yang sangat besar kepada Aqhila.
“Ap-a?
Bagaimana bisa? Dia nggak pernah cerita kalau dia punya penyakit parah.” bantah
Karel tak percaya.
“Emang
bukan dia, tapi gue. Gue yang punya penyakit kanker hati. Tapi dialah yang
mendonorkan hatinya buat gue.” jelas Ashila. Karel terduduk lesu pada bangku
taman. Ia tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya sekarang campur aduk.
“Sebelum
itu, dia nitipin surat ini buat lo.” kata Ashila kemudian memberikan surat dari
Aqhila kepada Karel. Karel menerima suratnya dengan lemah. Perlahan ia membuka
surat itu.
Karel, makasih yah udah hadir dalam
kehidupan aku. Aku bersyukur karena bisa sempat kenal dengan kamu. Kamu adalah
orang yang dapat merubah hidup aku menjadi lebih bermakna. Kamu mengajarkan aku
tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Mungkin, kamu adalah orang yang
dikirim Tuhan untuk menjawab seluruh pertanyaanku. Pertanyaan untuk tujuan
hidupku. Sekali lagi makasih untuk semuanya. Dan yang paling penting, kamu
harus tahu kalau kamu adalah hal yang sangat berarti bagi aku.
Aqhila.
Karel menutup suratnya dengan tenang.
“Dia
adalah sosok seorang malaikat.” kata Karel dengan pandangan lurus kedepan.
“Lo
bener. Dia adalah malaikat bagi keluarga gue. Tapi malaikat itu udah pergi,
terbang jauh!” balas Ashila kemudian duduk disamping Karel.
“Dia
pasti udah tenang dialam sana.” kata Karel. Ashila membalas dengan anggukan.
“Hm..
lo mau nggak bantuin gue sama orang tua gue buat menuhin permintaan terakhir
Aqhila?” tanya Ashila.
“Permintaan
apa?” Karel balas bertanya.
“Dia
pengen ngasih sumbangan buat anak-anak yang ada di yayasan anak kanker dan
cacat.” Jawab Ashila.
“Pasti!”
kata Karel sambil tersenyum. Keduanya kemudian bangkit lalu meninggalkan taman
itu.
Jauh
dari dunia yang begitu fana, Aqhila melihat segalanya sambil tersenyum cerah.
Kebahagiaan sesungguhnya telah ia dapat ketika ia menemukan orang yang
disayanginya itu bahagia karenanya.
0 komentar:
Posting Komentar