Ku mulai tulisan ini dengan satu kata, "cinta".
terkadang aku bertanya-tanya,
apa sebenarnya makna cinta itu?
aku seolah merasakannya,
namun apakah benar perasaan yang aku rasakan adalah cinta?
Awalnya, aku akan merasakan sesuatu
yang tak dapat aku lukiskan dengan kata-kata.
hanya dengan memandangnya,
aku bisa mendengar betapa kencangnya detak jantungku.
setiap hari, aku selalu berharap agar bisa bertemunya.
melihat senyumnya, tawanya, bahkan segala hal yang dia lakukan,
membuatku ikut merasakan kebahagiaannya.
apakah ini yang namanya cinta?
aku akan selalu merasa bahagia,
meskipun kegundahan menyelubungi benakku.
Lalu bagaimana jika sebaliknya?
saat aku mengetahui sosok yang aku anggap istimewa,
malah menarik perhatian orang lain.
hati terasa sangat perih, menyakitkan.
apa ini juga yang namanya cinta?
rasa pahit yang akan selalu tertanam dalam perasaanku.
Aku tak hanya sekali-dua kali merasakan ini.
perasaan yang tak pernah terbalaskan.
ataukah boleh aku menyebutnya cinta?
cinta yang tak terbalas?
entahlah, aku sendiri bingung menentukan sebutannya.
Kali ini aku pun merasakannya kembali.
perasaan yang pantaskah disebut dengan cinta?
akan tetapi, ada seberkas ketakutan yang tersirat dalam diriku.
takut akan hati yang perih kembali,
takut akan mencintai sosok yang salah lagi..
Aku masih tak paham akan arti cinta.
ia terlalu rumit untuk kusadari.
aku mungkin tidak perlu memaksakan kehendakku,
untuk mencari cinta yang masih besembunyi.
biarkanlah waktu yang akan menemukannya.
Sabtu, 29 November 2014
Happy Birthday, fate!
Dentuman musik mengalun lembut dari radio kecilku.
menemani malam sepiku bersama bayanganmu.
tak ada lagi hal yang mampu dipikirkan,
selain angan-angan untuk bersamamu.
lalu, mungkinkah selamanya hanya akan menjadi khayalan?
tanpa suatu kenyataaan yang pasti.
Aku selalu senang melihat taburan bintang di langit,
sebagai pesona malam yang tenang.
mencari dua bintang yang paling terang,
berharap bintang itu adalah kita, saling menerangi satu sama lain.
tapi apakah kau juga memiliki harapan sepertiku?
ataukah harapan itu hanya berlaku bagi diriku sendiri?
Aku tahu hari ini adalah hari spesialmu.
hari dimana aku bersyukur karena tepat pada tanggal itu,
kau terlahir di muka bumi ini.
ingin rasanya ungkapan selamat ulang tahun,
terucap langsung oleh lisanku untukmu, dihadapanmu.
dan doa yang terbaik serta hadiah yang akan selalu kau kenang,
rasanya ingin kupersembahkan langsung untukmu.
namun apa daya, itu tidak akan mungkin terjadi.
Aku hanya akan selalu bisa memandangmu dari jauh,
sementara kau tak akan pernah menyadarinya.
bahkan aku pun akan merasa sangsi jika kau mengenalku,
meskipun hanya sebatas nama.
tapi aku tetap berusaha menjadi lebih baik, agar kau bisa melihatku.
setidaknya suatu saat nanti.
Lalu, saat ini bagaimana aku bisa mengatakannya?
haruskah aku membisikkannya melalui bintang?
apapun jalan yang terbaik,
aku hanya ingin kau tahu, bahwa perasaanku telah lama ada untukmu.
Happy birthday, fate.
I wish you will become my fate!
Label:
puisi author
Selasa, 06 Mei 2014
Anugerah cinta
Hidupku
terasa hampa berjalan di tengah kelamnya malam. Hawa dingin yang menyelubungi
tubuhku mengantarkan pikiranku kedalam peristiwa yang dulu pernah terjadi. Awal
kejadian yang telah merubah kehidupanku menjadi sia-sia. Kejadian yang
membuatku seperti orang yang paling bodoh di muka bumi ini. Kini aku hanyalah
seorang gadis yang tak tahu harus berbuat apa lagi. Hal yang terbayang di
benakku tinggal kematian. Aku sudah tidak sanggup melanjutkan kehidupan dalam
keadaan seperti ini. Hingga disinilah aku, di tengah jalan berharap akan ada
seseorang yang menabrakku. Aku tak kuasa menahan tangisku saat ada sebuah mobil
melaju dengan kecepatan tinggi sambil terus membunyikan klakson mobilnya. Aku
sudah tidak peduli lagi akan hal itu. Aku mulai memejamkan mataku, menarik
napas dengan pasrah. Sampai kudengar deruman mobil itu semakin dekat, tiba-tiba
tubuhku terasa mendapatkan dorongan yang keras hingga tubuhku terpentang ke
arah trotoar. Aku menoleh pada seseorang yang telah mendorongku tadi. Wanita
setengah baya yang dibalut pakaian muslimah. Ia pun juga menoleh ke arahku lalu
segera menghampiriku.
“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya ibu
itu. Aku menggeleng cepat dan seketika itu pun emosiku pecah. “Ibu kenapa
nolongin saya!? Ibu kenapa tidak membiarkan saya mati!? Saya ingin mati, Bu!
Saya ingin mati!!” ucapku hampir setengah sadar.
“Astagfirullahaladziim, Nak. Kamu
jangan berpikiran seperti itu! Jangan kamu pikir dengan kamu mati bunuh diri
masalah kamu akan selesai? Tidak! Itu hanya akan menambah dosa kamu.” kata ibu
itu sambil merengkuhku. Aku tak berusaha melepaskan rengkuhannya karena itu
membuatku seperti merasakan hal yang selama ini
telah hilang dariku.
“Nak, sekarang sudah malam.
Sebaiknya kamu ikut ke rumah ibu saja dulu. Ayo, Nak!” lanjut ibu itu sambil
berdiri untuk memapahku. Aku pun menuruti perintahnya. Sebaiknya memang begitu,
karena aku sudah tidak punya tempat lagi untuk pulang. Kami segera melangkah
menuju arah jalan ke rumah ibu itu.
****
“Ini tehnya, Nak. Diminum, yah.”
ucap ibu itu sambil meletakkan secangkir teh hangat di atas meja ruang tamu.
Aku sekarang telah berada di dalam rumah
ibu yang telah menyelamatkanku tadi. Rumah yang tidak begitu luas, tapi tidak
begitu sempit juga. Di rumah ini terdapat dua kamar, namun aku hanya melihat
ibu ini sendiri. Setelah beberapa saat, aku menyeruput secangkir tehku. Hal itu
membuatku sedikit lebih baik.
“Terima kasih, Bu.” ucapku sopan
lalu meletakkan secangkir tehku kembali ke atas meja.
“Hm.. Nak, sebenarnya kamu kenapa?
Kenapa kamu berani berbuat nekat seperti tadi? Memangnya orang tuamu kemana?”
tanya ibu itu lembut. Aku merenung sejenak. Haruskah aku ceritakan kisahku
kepada ibu ini? Namun tidak ada salahnya juga jika aku ceritakan. Siapa sangka
aku bisa mendapatkan sedikit pencerahan dari ibu ini? Aku menghela napas
panjang. “Ceritanya panjang, Bu. Enam bulan yang lalu, saya masuk ke salah satu
SMA di Makassar. Saat itu hidup saya baik-baik saja. Saya hidup bersama ibu
saya karena ayah saya telah meninggal sejak saya masih SMP. Namun pergaulan dengan
teman-teman saya yang membuat awal dari kehancuran hidup saya. Semenjak saya
bergaul dengan teman-teman SMA saya, saya sering keluyuran nggak jelas, pulang
malam, bahkan bolos sekolah. Hingga suatu saat, ibu saya melarang saya untuk
bergaul dengan mereka lagi karena perubahan sikap saya.
Saat itu saya marah besar dengan ibu saya.
Teman yang saya anggap adalah teman yang paling baik bagi saya malah harus
dijauhi. Belum lagi saya memiliki seorang pacar yang sangat saya cintai. Hingga
saya rela melakukan apapun demi dia, termasuk meninggalkan ibu saya yang waktu
itu ternyata sedang sakit keras. Mulai dari saat itu, saya tidak pernah lagi ke
sekolah. Kerjaan saya hanya nongkrong-nongkrong bersama teman-teman saya,
melakukan hal yang tidak berguna, hanya sekedar mencari kesenangan belaka.
Beberapa
bulan kemudian, saya mendapat berita bahwa ibu saya meninggal dunia. Saya
sangat terpukul akan hal itu. Saya merasa sangat bersalah dan menyesal. Tapi,
godaan dari teman-teman saya yang seakan mempunyai kekuatan yang lebih besar
membuat saya jadi mengacuhkan hal itu. Kehidupan saya kembali seperti biasa.
Sampai akhirnya, saya merasa sedikit demi sedikit teman-teman saya mulai
menjauhi saya. Entah apa penyebabnya, saya mulai merasa sendiri. Dan dimalam
inilah saya mendapatkan jawaban dari segala keganjilan yang saya alami.”
ceritaku terhenti sejenak oleh isakanku
yang semakin menjadi-jadi. Ibu itu segera memelukku dengan penuh rasa
empati. Aku bisa merasakan kehangatan yang ditransferkannya untukku.
“Pacar
yang selama ini sangat saya cintai ternyata tidaklah mencintai saya. Begitu
pula dengan teman-teman saya. Tujuan awal mereka mendekati saya adalah untuk
membuat hidup saya menderita. Sahabat saya dari SMP, Anggika, mengaku iri
dengan saya. Saya yang selalu menjadi siswi yang berprestasi dan menjadi murid
kesayangan dari setiap guru. Dan lagi, orang yang dia suka ternyata menyukai
saya. Maka dari itu dia ingin membalas dendam dengan saya.
Dia
juga merebut pacar yang selama ini saya anggap baik. Kini saya hanya sebatang
kara, saya tidak tahu lagi untuk apa saya hidup.” sambungku dengan masih
terisak. Ibu itu melepaskan pelukannya.
“Kamu tidak boleh beranggapan
seperti itu, Nak. Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang, tugasmu adalah
memperbaiki kesalahan yang telah kamu perbuat. Mulai sekarang, kamu bisa
tinggal disini bersama ibu.” ucap ibu itu.
“Lho, memangnya keluarga ibu
dimana?” tanyaku.
“Anak dan suami ibu telah pergi
akibat kecelakaan pesawat yang menimpa mereka dua tahun yang lalu.” terang ibu
itu. Suaranya tiba-tiba melemah. Aku mengusap-usap pundaknya. “Oh iya, ibu
belum tahu nama kamu. Nama kamu siapa?” tanya ibu itu.
“Nama saya Alina, Bu. Kalau ibu,
namanya siapa?” balasku.
“Nama ibu, Marissa.” jawabnya. “Nak,
kalau kamu bisa melakukan apapun demi cintamu terhadap sesama manusia, berarti kamu
juga harus rela melakukan apa yang diperintahkan oleh sang pencipta. Perlu kamu
ketahui, tingkatan cinta yang paling atas adalah cinta kepada Allah swt., Tuhan
semesta alam. Cinta yang akan membuatmu jauh lebih baik. Mulailah dulu dari hal
yang kecil, menutup aurat, sholat, mengaji, dan kembali bersekolah.” ucap ibu
Marissa. Aku pun mengangguk dengan mantap. Aku tak akan mensia-siakan
kesempatan ini lagi. Aku akan berubah menjadi yang lebih baik.
****
Satu tahun kemudian..
Alina
berjalan keluar dari salah satu restoran kecil yang ada di Makassar.
Pandangannya terpaut pada layar kaca hp-nya. Tanpa sengaja ia menabrak seorang
gadis yang kira-kira umurnya sebaya dengannya.
“Eh.. sorry, aku nggak sengaja.”
sahutnya lalu mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang ditabraknya. “He-eh,
Anggika? Apa kabar?” ucapnya tak percaya.
“Alina? Hm.. kamu gimana?” tanya
Anggika yang tampak jelas menyembunyikan rasa canggungnya.
“Baik. Gimana dengan Verrel?” ucap
Alina lagi. Ya, Verrel. Orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup
Alina.
“Oh.. dia, sekarang dipenjara karena
kedapatan nge-drugs!” ucap Anggika.
Raut wajahnya berubah menjadi gelisah.
“Astagfirullahaladziim.. tapi, kamu
nggak apa-apa, kan?” tanya Alina dengan perhatian yang tulus. Anggika tak kuasa
menahan tangisnya. Ia lalu memeluk Alina.
“Lin, maafin aku ya. Selama ini aku
udah nyakitin kamu. Aku sangat menyesal akan hal itu. Asal kamu tahu, aku
sekarang terjangkit virus HIV.” ucap Anggika sambil tersedu-sedu. Alina segera
membalas pelukannya. Alina tak percaya akan hal yang menimpanya, tapi itulah
yang terjadi. Tapi di satu sisi, Alina bersyukur karena Allah masih melindungi
dirinya dari hal-hal yang tak diinginkan. Andai Alina belum mendapat hidayah,
mungkin saja ia juga akan terjerumus dalam kesesatan. Maka dari itu ia selalu
percaya, orang yang baik akan mendapatkan teman dan kehidupan yang baik pula.
Entah itu sekarang atau suatu saat nanti.
Label:
cerpen author
Senin, 21 April 2014
Kamu Punya Cita-Cita
Semilir angin malam masuk ke dalam kamar
Zya melalui jendela kamarnya yang terbuka. Angin yang kemudian berhembus tepat
ke arah wajahnya membuat kejenuhan Zya sedikit berkurang. Besok adalah hari
pertamanya masuk kejenjang SMA. Tapi, ia sudah harus belajar dengan keras
karena sebulan lagi akan mengikuti lomba olimpiade fisika. Sebenarnya sekarang
ia tidaklah sedang belajar, melainkan ia sedang melamun, menghayalkan
kisah-kisah kehidupannya nanti. Sambil membolak-balikkan kertas bukunya, ia
mendesah pelan. Akankah hidupnya selalu seperti ini? Terus berkecimpung dengan
buku-buku pelajaran yang terkadang membosankan. Tiada waktu untuk melakukan hal
lain.
Mama
masuk kedalam kamar Zya dan melihatnya sedang terpaku pada suatu buku yang
penuh dengan kumpulan soal. Dengan membawa secangkir susu hangat, mama
mendekati Zya.
“Zya,
kok jendela kamarnya nggak ditutup?” tanya mama sambil meletakkan secangkir
susunya di dekat Zya. Kemudian mama berjalan ke arah jendela bermaksud untuk
menutupnya.
“Lagi
cari angin, Ma. Lumayan buat nemenin aku belajar.” Jawab Zya. Ia masih terpaku
pada bukunya dengan wajah datar.
“Udah,
sekarang kamu tidur. Besok kan kamu sekolah. Nanti telat lho.” kata mama yang
sudah menutup jendela kamar Zya.
“Iya,
Ma.” balas Zya dan segera membereskan buku-buku pelajarannya.
“Oh,
iya. Susunya jangan lupa diminum ya.” kata mama diambang pintu kamar Zya. Zya
pun mengangguk lalu melihat mama yang telah menghilang dari balik pintu
kamarnya.
****
Terik matahari disekitar danau, arah
jalan pulang ke rumah Zya seakan menambah beban hidupnya. Dua minggu berlalu
masa SMA-nya dimulai. Namun, ia tak dapat menikmati masa putih abu-abunya itu
layaknya para remaja lainnya. Jujur, Zya sangat ingin mengikuti ekskul-ekskul
yang ada di sekolahnya. Ia ingin tahu rasanya berorganisasi. Ia ingin disebut
sebagai anak PMR, PASKIBRA, Pramuka, ataupun lainnya. Tapi apa daya, orang tua
Zya tidak mengizinkan. Bahkan mereka memberikan Zya jadwal-jadwal bimbel yang
sangat padat.
Untuk
melampiaskan kekesalannya, Zya refleks menendang sebuah kaleng bekas yang ada
di depan kakinya. Dan tanpa sengaja pula kaleng bekas itu mengenai kepala
seorang cowok yang kira-kira umurnya sebaya dengan Zya. Kaget, Zya segera
menghampiri cowok itu yang tengah duduk di pinggir danau sambil meringis
kesakitan.
“Duh,
sorry yah. Aku nggak sengaja. Beneran, deh. Aku nggak sengaja.” kata Zya dengan
wajah panik dan memohon.
“Eh,
kamu hati-hati dong. Kamu pikir ini nggak sakit?” kata cowok itu dengan tampang
kesal.
“Ya,
aku kan udah minta maaf. Lagian nanti kepala kamu nggak akan benjol-benjol amat.”
balas Zya sambil memelas.
“Hhh..
terserah kamu, deh. Ngomong-ngomong, ngapain sih kamu pake nendang kaleng
segala? Kurang kerjaan banget!” tanya cowok itu. Entah apa yang membuat Zya
serasa mudah mempercayainya. Danau yang tenang membuat lisan Zya berkata dengan
lancar menceritakan keluh kesahnya. Disaat itu pula cowok itu menjadi pendengar
yang baik.
“Kamu
nggak boleh gitu. Seharusnya kamu bersyukur karena kamu punya orang tua yang
peduli dan bisa memperhatikan cita-cita kamu. Di luaran sana banyak kali yang
pengen kayak kamu. Kehidupan yang berkecukupan, dikelilingi orang yang kita
sayang, dan merasakan nyamannya menuntut ilmu. Termasuk aku. Aku merasa iri setelah
dengar cerita kamu. Aku sekarang udah nggak bisa lanjutin sekolah aku. Semenjak
Ibu aku sakit, aku yang mesti cari uang buat biaya hidup aku, adik aku, dan Ibu
aku.” sela cowok itu setelah Zya selesai mengungkapkan keluh kesahnya.
“Emangnya
Ayah kamu kemana? Terus, sekarang kamu kerja apa?” tanya Zya penasaran.
“Ayah
aku udah lima tahun ini nggak balik ke rumah. Kabar terakhir yang aku dengar,
dia jadi buronan polisi karena tersangka sebagai pengedar narkoba. Sekarang aku
ngegantiin posisi Ibu aku sebagai penjual kasur keliling.” jawab cowok itu.
“Hah?!
Kamu nenteng – nentengin kasur? Berat banget dong!” Zya tersontak kaget. Ia tak
percaya kalau pekerjaan cowok itu sangatlah tak mudah.
“Mau
diapain lagi. Malahan aku senang, karena yang merasakan penderitaan seperti ini
bukan lagi Ibu aku.” kata cowok itu setengah tersenyum. Zya terangguk-angguk.
“Anyway, dari tadi kita ngobrol, tapi aku
belum tahu nama kamu. Aku Zya.” kata Zya yang baru menyadari bahwa ia belum
mengetahui nama cowok itu.
“Oh
iya, ya. Aku Aryan. Hm.. aku nggak bisa lama-lama disini. Aku mesti beliin Ibu
aku obat.” kata Aryan kemudian bangkit dari duduknya.
“Terus
habis itu kamu mau kemana?” tanya Zya.
“Ya
pulang ke rumahku lah!” jawab Aryan heran.
“Aku
boleh nggak ikut ke rumah kamu? Aku pengen nengokin Ibu kamu.” kata Zya dengan
senyum manisnya. Aryan mengerutkan alisnya, tapi ia mengizinkannya juga. Mereka
segera meninggalkan danau itu. Ada satu masalah yang sedang dilakukan Zya yang
pastinya akan membuat orang tuanya marah.
****
Tubuh Zya terhempaskan di atas kasurnya
yang empuk. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Seperti yang ia duga, kedua
orang tuanya pasti marah. Jelas mereka marah! Ada tiga bimbel yang Zya lewatkan
pada hari ini. Tapi, Zya tak merasa menyesal akan perbuatannya. Bahkan ia
merasa hari ini ia mendapat pengalaman yang luar biasa. Hari ini ia baru
mengetahui cara hidup masyarakat yang kurang mampu. Kehidupan yang penuh
penderitaan, perjuangan, dan hati yang ikhlas dalam menghadapi berbagai cobaan.
Pintu hati Zya terketuk saat melihat kisah hidup Aryan. Zya seakan malu pada
dirinya sendiri. Mulai saat ini, Zya bertekad akan belajar dengan
sungguh-sungguh dan berusaha untuk memenangkan olimpiadenya nanti.
Zya
tak dapat tidur malam ini. Ia terus memejamkan matanya berharap dapat terlelap
dan alhasil ia tetap terjaga. Karena itu ia memutuskan untuk belajar. Ia harus
memenangkan olimpiade itu agar dapat menjalankan misinya. Dan besok ia akan
berbicara kepada kedua orang tuanya tentang misinya secara baik-baik.
****
Tiga
minggu kemudian...
Aryan sedang duduk termangu menunggu
kedatangan Zya. Kemarin Zya menyuruh Aryan untuk menemuinya di tempat pertama
kali mereka bertemu. Lelah menunggu, Aryan ingin berbalik pergi. Tapi tiba-tiba
suara histeris memanggil namanya. Aryan segera menoleh ke sumber suara yang
ternyata adalah Zya.
“Kamu
kemana aja, sih?! Kamu yang bikin janji tapi nggak on time. Kamu pikir aku nggak ada kesibukan selain nungguin kamu?”
kata Aryan sambil memasang wajah kesalnya.
“Huh..hh..hh..
maaf yah. Tadi lagi ada emergency, soalnya!”
kata Zya yang sementara ngos-ngosan. Ia pun mendudukkan dirinya diikuti Aryan.
“Apapun
itu, aku nggak peduli. Maksud kamu nyuruh aku kesini buat apa?” tanya Aryan tak
acuh.
“Aku
menang lomba olimpiade fisika tahun ini!!” jerit Zya sangat histeris.
“Oh..
selamat, ya.” balas Aryan tanpa ekspresi apapun. Zya mengerucutkan bibirnya.
“Tapi
bukan itu intinya.” sahut Zya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah cek yang telah tertera sejumlah nominal uang diatasnya. Aryan menatap
Zya bingung ketika Zya memberikan cek itu kepadanya.
“Ini
beasiswa dari kemenangan aku. Aku mohon kamu bisa nerima beasiswa ini. Karena
kamu harus tahu, aku menangin lomba ini buat kamu. Sejak aku kenal kamu, aku
ngerasa jauh lebih beruntung. Aku ngerasa bersalah karena sering menuntut
keadaan. Aku salut sama kamu. Dalam saat seperti ini kamu udah punya tanggung
jawab yang sangat besar. Kamu harus mambiayai hidup kamu sendiri, adik kamu,
dan Ibu kamu. Nggak semua orang bisa ngelakuinnya kayak kamu!” kata Zya yang
membuat Aryan segera menggelengkan kepala.
“Apa-apaan,
nih! Aku nggak butuh yang beginian!” tolak Aryan.
“kamu
butuh, Ar. Kamu butuh ini buat biaya pengobatan Ibu kamu dan pendidikan kamu
sama adik kamu.” kata Zya sambil tetap menyodorkan cek itu kepada Aryan.
“Aku
memang butuh uang buat biaya pengobatan Ibu aku. Tapi kalo masalah pendidikan
aku.. itu nggak penting! Yang jelas, adik aku bisa sekolah. Biarin aja aku
titip impian aku ke dia. Dan soal itu semua, aku bisa cari pekerjaan yang lebih
banyak. Pokoknya apa aja, yang penting halal!” kata Aryan yang tetap bersikukuh
untuk menolak pemberian Zya.
“Kamu
punya impian tersendiri. Adik kamu juga begitu. Kamu berhak meraih impian kamu
sendiri. Siapa tahu dengan kamu sekolah lebih tinggi, kehidupan kamu akan lebih
baik nantinya. Kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih layak.” bujuk Zya
“Tapi..
bagaimana dengan orang tua kamu? Mereka setuju dengan hal ini?” tanya Aryan.
Zya mengangguk tegas.
“Aku
udah kasih tahu mereka dan responnya juga baik.” jawab Zya. Aryan merenung
sejenak. Kata-kata Zya terus terngiang di telinganya. Dengan perasaan ragu,
Aryan mengambil cek itu dari tangan Zya. Kini Zya tersenyum tulus. Misinya
telah berhasil dilakukannya.
Aryan
sangat bersyukur kepada sang khalik, karena sudah mempertemukannya dengan
seorang gadis yang sangat berhati mulia. Ia tak menyangka, pertemuan yang
secara tiba-tiba menjadikan awal perubahan hidupnya.
“Allah melapangkan rezeki bagi orang yang
dia kehendaki diantara hamba-hambaNya dan dia pula yang membatasi baginya.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Al-‘Ankabut/29:62)
Label:
cerpen author
Rabu, 09 April 2014
Cerita Masa Lalu
Semilir angin yang menerpa wajah
Di tengah malam yang kelam
Sepi, sendiri, dan hampa
Menatap datar dari balik jendela
Angin yang berhembus kencang,
Menggugurkan daun-daun dari tangkainya
Bagai gambaran kehidupan di muka bumi
Terjatuh dan akan tergantikan
Gerimis yang membasahi alam
Mengangkat kenangan masa lalu
Layak angin yang berlalu
Label:
puisi author
Selasa, 08 April 2014
Memories Of You
Melupakan hal yang berharga,
Tak semudah membalikkan telapak tangan
Mencoba melupakan hal itu,
Butuh berbagai cara
Namun semakin kucoba tuk melupakannya,
Bayangannya semakin melekat
Lukisan masa lampau
Yang tak akan pernah sirna
Kejadian yang tak diharapkan
Awal yang baik,
Akhir yang buruk
Terkadang mulut dan hati tidak sinkron
Mulut berkata sudah melupakannya,
Hati berkata belum melupakannya
Hidup terasa bimbang
Tapi satu hal yang kupercaya
Sekarang atau nanti,
Cepat atau lambat,
Ingatan itu akan pergi dengan sendirinya
Ingatan itu akan pergi dengan sendirinya
Label:
puisi author
Keluhan Tak Berujung
Dipenuhi dengan derai air mata
Setiap hari..
Dipenuhi dengan emosi tertahan
Setiap detik..
Dipenuhi dengan rasa lelah,
Lelah menghadapi segalanya
Melakukan hal yang selalu salah
Apakah yang harus kuperbuat?
Diam adalah hal yang salah
Berbicara adalah hal yang salah
Melakukan perintahmu pun tetap salah
Bagaimana cara tuk menghapus semua ini?
Haruskah aku yang selalu mengerti?
Kenapa bukan yang lainnya saja yang harus mengerti?
Kapankah hal ini bisa terjawab?
Label:
puisi author
Selasa, 01 April 2014
HEART
Aqhila mengusap air matanya. Gadis
berusia 20 tahun itu sedang meratapi kehidupannya di sebuah taman kecil dan
sepi. Disitulah tempat ia selalu menyendiri, meluapkan semua isi hatinya pada
buku diary-nya.
Mengapa aku harus terlahir dalam keadaan
seperti ini? Apa salahku, Tuhan?semua teman-teman dan orang-orang disekitarku
menjauhi serta memperolok-olokku. Aku terima itu, Tuhan. Akan tetapi, kenapa
harus keluargaku juga yang ikut menjauhiku? Mereka seakan-akan malu mempunyai
anggota keluarga sepertiku. Bahkan orang tuaku seperti tak pernah menganggapku
sebagai anak. Sehinah itukah diriku, Tuhan? Aku sadar akan keadaanku. Gadis
lumpuh dan bisu yang tak berdaya, gadis yang tak pernah diharapkan ada di dunia
ini. Lalu untuk apa sebenarnya aku hidup? Tuhan, tolong berikan jawaban untuk
semua ini!
Sekali lagi Aqhila mengusap air matanya
yang sebagian telah membasahi buku diary-nya itu. Aqhila menatap sekeliling
taman itu sejenak, lalu beranjak pergi.
.....
“Ibu...! Bu, Ibu
dimana sih?” teriak Ashila, saudara kembar Aqhila.
“Iya,
sayang. Ada apaan? Kok, heboh banget?” tanya Ibu sambil melangkah ke arah
Ashila.
“Ini
lho, Bu. Aku menang sebagai model terpopuler di tahun ini!” kata Ashila lalu
memberikan memberikan sebuah majalah remaja yang terkenal kepada Ibunya.
“Wah,
kamu hebat, sayang! Kamu emang anak Ibu yang paling hebat!” kata Ibu bangga.
Aqhila pun datang menghampiri mereka bermaksud untuk memberi ucapan selamat
kepada Ashila. Dengan tersenyum, Aqhila bertepuk tangan sambil mengacungkan
kedua jempol lalu mengulurkan tangan ke
arah Ashila.
“Apa-apaan,
nih! lo ngapain disini?! Cewek cacat nggak tahu malu!!” bentak Ashila. Aqhila
sontak terkaget dan langsung menundukkan kepala.
“Udahlah,
sayang. Ngapain ngeladenin anak nggak berguna kayak begini! Yang kerjanya Cuma
bisa bikin susah orang, bikin malu keluarga!!” kata Ibu.
“Kenapa
ini? Ayah baru datang kok sudah pada ribut?” kata ayah yang baru saja pulang
dari kantor.
“Ayah!!
Ayah harus dengar berita gembira ini!” kata Ashila dengan penuh semangat tanpa
memedulikan Aqhila lagi.
“Berita
gembira apa?” tanya Ayah.
“Aku
jadi pemenang model terpopuler tahun ini!!” seru Ashila yang semakin semangat.
“Nah,
ini baru namanya anak Ayah. Anak yang bikin bangga keluarga,berprestasi. Bukan
anak cacat yang hanya duduk di kursi roda tak ada arti!!” sahut Ayah dengan
senyum bangga lalu menyindir Aqhila. Aqhila masih tertunduk lesu.
“Iya
dong, Yah. Anak siapa dulu?” kata Ibu sembari mengusap kepala Ashila.
“Pastinya
anak Ayah dan Ibu.” kata Ashila. Mereka pun tertawa bersama. Sedangkan Aqhila
memilih untuk pergi meninggalkan tempat itu dengan menahan tangis.
Aqhila pergi menuju taman seperti
biasanya untuk menumpahkan semua kesedihannya. Semilir angin sore membuat rambut
panjang Aqhila terkibaskan. Ia menikmati hembusan angin itu. Kemudian Aqhila
mulai menulisi diary-nya.
Ayah, Ibu, kenapa kalian melakukan
hal ini kepadaku? Segitu bencinyakah kalian? Ayah, Ibu, aku tak pernah meminta untuk dilahirkan, apalagi
dalam keadaan cacat seperti ini. Aku paham akan kekecewaan kalian terhadap aku.
Kalian memang seharusnya lebih bangga kepada Ashila. Tapi haruskah kalian menelantarkan aku? Ayah, Ibu, aku juga
butuh kasih sayang. Aku butuh perhatian dari kalian. Tidakkah pemikiran itu
terbersit di hati kalian? Saat kalian membandingkan aku dengan Ashila, tidakkah
kalian berpikir tentang hatiku yang hancur? Andaikan Ayah dan Ibu tahu, aku
sangat ingin membuat kalian bangga. Tapi, apakah yang harus aku lakukan? Tuhan,
tolong kirim jawaban dari segala pertanyaanku ini.
Aqhila mengusap air matanya yang
kesekian kalinya. Tiba-tiba ada seorang cowok menghampirinya.
“Hai..
boleh minta waktunya bentar, nggak?” sapa cowok itu. Aqhila mendongakkan
kepalanya lalu menatap cowok itu dan tersenyum sambil mengangguk. Cowok itu
kemudian duduk di bangku taman samping kursi roda Aqhila.
“Gue
Karel. Nama lo siapa?” tanya cowok itu sembari mengulurkan tangannya. Aqhila
menerima uluran tangan itu lalu menulis sesuatu di belakang buku diary-nya.
Cowok itu menatap Aqhila heran. Aku bisu.
Nama aku Aqhila, ada apa? Karel membaca apa yang ditulis Aqhila.
“Oh,
maaf. Gue nggak bermaksud.”kata Karel. Aqhila pun tersenyum maklum.
“Hm..
gue kesini pengen nawarin lo sesuatu. Gue pengen ngajakin lo lomba nulis
cerpen. gue lihat, kayaknya tadi lo lagi nulis diary. Biasanya orang kayak gitu
jago nulis.” kata Karel. Aqhila hanya menatapnya datar.
“Oh,iya.
Dengan ikut lomba ini, kita juga bisa membantu sesama. Setiap orang yang ikut
lomba ini layaknya memberikan donasi sebesar Rp.10.000,00. Maksudnya, setiap
orang yang ikut lomba ini, panitia berjanji akan memberikan donasi yang akan
dikumpulkan untuk diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung. Jadi,
semakin banyak orang yang ikut lomba ini, akan semakin banyak donasi yang
terkumpulkan.”jelas Karel panjang lebar seolah mengerti tatapan Aqhila. Aqhila
pun mengembangkan senyumnya.
“Eergh..
lo mau ikut lomba ini, kan?” tanya Karel. Aqhila pun menulis lagi. Tentu saja. Aku juga mau bantu kamu nawarin
ke orang-orang buat ikut lomba ini, boleh? Karel pun membacanya.
“Hahaha..
gue nggak bakalan nawarin ke orang satu-satu, kali. Tadi gue cuma nggak sengaja
ngeliat lo disini. Ya, apa salahnya coba nawarin ke elo. Tapi, kalo lo mau, lo
bisa ikut gue ke yayasan anak-anak kanker dan anak-anak cacat. Katanya mereka
juga pengen ikut lomba ini. Mereka juga pengen membantu sesama. Mereka pengen
membantu orang yang lebih membutuhkan.” Ajak Karel. Aqhila dengan cepat mengangguk.
“Ya
udah, ayo kita pergi.” kata Karel sambil mendorong kursi roda Aqhila.
....
“Kak
Kareell!!” seru anak-anak yayasan. Senyum ceria terpancar dari wajah mereka.
“Hai,
adek-adek. Apa kabar?” kata Karel sembari berbaur dengan mereka.
“Baik,
kak.” balas mereka serempak.
“Oh
iya, Adek-adek. Kenalin, ini kak Aqhila, temen kakak.” kata karel
memperkenalkan Aqhila.
“Hai, kak Aqhila.” sapa mereka semua. Aqhila
hanya tersenyum ramah lalu melambaikan tangannya. Anak-anak itu pun heran
dengan tingkah laku Aqhila.
“Adek-adek,
kak Aqhila ini juga orang istimewa seperti kalian.” kata Karel seolah mengerti
perasaan anak-anak itu.
“Nah,
sekarang kakak mau lihat hasil cerpen dari kalian.” seru Karel berusaha
mencairkan suasana. Anak-anak itu langsung menyerbu Karel dan Aqhila dengan
masing-masing membawa buku tulis ditangannya. Mereka terlihat sangat gembira
termasuk Aqhila. Dia belum pernah merasakan kehangatan layaknya keluarga
seperti ini. Kejadian ini adalah hal yang sangat berharga baginya. Ia tak akan
melupakan kejadian ini.
....
Akhir-akhir ini, hidup Aqhila terasa
lebih berarti. Ia sudah lebih sering tersenyum. Semenjak pertemuan pertamanya
dengan Karel, ia semakin hari semakin akrab dengannya. Aqhila selalu menemani
Karel ke tempat komunitas para penulis. Ia merasa bahagia karena dengan
mengajak orang-orang untuk mengikuti lomba menulis cerpen waktu itu sama halnya
dengan membantu orang-orang untuk mengumpulkan donasi bagi kaum yang
membutuhkan. Ia merasa lebih berguna.
....
Hari ini di rumah Aqhila terasa sangat
mengejutkan. Ashila yang telah berhari-hari demam tinggi, tadi pagi sudah tidak
dapat menelan makanan. Tenggorokannya terasa sangat sakit. Bahkan untuk meminum
air pun sudah sangat susah. Ashila segera dilarikan kerumah sakit.
Setelah pengecekan, ternyata Ashila
divonis kanker hati. Dirumah, kedua orang tua Aqhila dan Ashila sibuk
memikirkan kesembuhan Ashila. Ashila harus membutuhkan pendonor hati. Tentu
saja itu tidak mudah untuk didapatkan. Sementara aqhila bingung, apakah dia
harus sedih atau senang? Dia sedih karena kasihan akan penyakit yang diderita
Ashila. Tapi, dia bisa senang karena ada sedikit kemungkinan kedua orang tuanya
akan memberikan kasih sayang kepadanya. Ya, hanya sedikit kemungkinan.
Di
saat makan malam, Ayah memberitahukan kepada semuanya kalau dia akan berjanji
memberikan uang sebesar 500 juta kepada orang
yang ingin mendonorkan hatinya
untuk Ashila dan berita ini akan disebarkan dikoran besok. Aqhila tersentak
kaget, lalu sekilas melihat reaksi Ibu. Dia tetap tenang sambil melanjutkan
makannya (Ashila sedang beristirahat di dalam kamarnya). Aqhila berpikir
sejenak, seketika menyunggingkan senyumnya.
....
“Halo,
iya betul. Saya Bapak Herman. Ada apa?” tanya Ayah kepada seseorang yang ada di
seberang telepon.
“Apa?!
Anda serius? Baiklah kami akan segera melakukannya. Terima kasih” kata Ayah
histeris. Ternyata telepon itu dari seorang staf rumah sakit. Dia mengatakan
bahwa Ashila telah mendapatkan pendonor hati. Ayah pun segera memberitahu Ibu
dan Ashila.
Seperti
yang diduga, keduanya tampak lebih histeris. Proses operasi akan secepatnya
dilakukan.
Di
taman, Aqhila duduk menyendiri sambil menulisi diary-nya.
Mungkin, hari ini adalah hari terakhir aku
menghirup udara di dunia ini. Tuhan, mungkin tidak lama lagi aku akan kembali
kepadamu. Aku tidak sabar menunggu saat itu tiba. Aku sekarang bisa lega. Bila
saat aku pergi, aku bisa pergi dengan tenang. Aku lega karena semua
pertanyaan-pertanyaan dalam hidupku akan terjawab nantinya. Tuhan, terima kasih
engkau telah mengirim segala jawaban itu untukku. Dan yang paling penting, aku
tahu alasan aku hidup di dunia ini.
Aqhila menutup buku diary-nya. Untuk
pertama kali ini ia menulis dengan senyum tulus dan ikhlas di wajahnya. Aqhila
kemudian membayangkan kejadian yang kemarin terjadi. Saat Aqhila duduk murung
ditaman, tiba-tiba Karel datang sambil membawa sesuatu. Karel memberikan Aqhila
sebuah Al-qur’an.
“Disaat
lo sedih, itu tandanya hati lo lagi kelam. Hati lo lagi gelap gulita. Disaat
itu pula hati lo butuh penerangan. Coba deh, lo baca ayat-ayat al-qur’an ini,
dijamin pasti hati lo bakalan langsung tenteram. Ketika lo membacanya, hati lo
seakan-akan langsung bersinar menggantikan gelap gulita itu.” kata Karel
sembari menatap Aqhila disertai senyumnya yang indah. Aqhila cekat menulis
sesuatu dibelakang buku diary-nya, Terima
kasih. Kemudian membalas senyum Karel dengan tak kalah indahnya.
....
Hari ini adalah hari yang ditunggu oleh
Aqhila, kedua orangtuanya, maupun Ashila. Hari ini tepat Ashila akan dioperasi.
Mereka pun (minus Aqhila) sedang menuju rumah sakit. Sedangkan Aqhila telah
lebih dahulu kesana.
Di
saat Ashila telah akan dioperasi, Ayah menanyakan siapa pendonor hati Ashila
kepada dokter.
“Maaf
sekali, Pak. Pendonor berpesan agar tidak memberitahukan identitasnya sebelum
proses operasi selesai.” kata dokter.
“Aneh
sekali, tapi baiklah.” Balas Ayah. Proses operasi segera dilaksanakan. Setelah
menunggu beberapa jam, akhirnya dokter keluar dari ruang operasi dan menyatakan
bahwa operasi berjalan dengan sukses.
“Ini,
Pak. Pendonor memberikan surat ini sebelum melakukan operasi.” Kata dokter lalu
memberikan tiga lembar surat. Ayah dan Ibu mengambil surat itu. Surat pertama
bertuliskan ‘Ayah dan Ibu’, surat kedua bertuliskan ‘Ashila’, dan surat
terakhir bertuliskan ‘Karel’. Ayah dan Ibu tersentak kaget, kemudian segera
membaca surat untuk mereka.
Ayah, Ibu, terima kasih telah menghadirkanku
ke dunia ini. Dunia yang begitu indah. Ayah, Ibu, aku harap setelah kalian
membaca surat ini, kalian akan bangga kepadaku. Aku ingin untuk pertama dan
terakhir kalinya kalian bisa bangga kepadaku. Ayah, Ibu, kalau aku boleh jujur,
aku sangat menderita saat harus merasa terasingkan dalam keluarga ini. Aku
sangat mengimpikan kasih sayang kalian. Aku butuh perhatian kalian. Sekarang,
hati aku berada di dalam tubuh Ashila. Aku mohon sama kalian agar menumpahkan
seluruh kasih sayang kalian untuk Ashila. Ayah, Ibu, tolong jaga hati aku.
Tolong jangan buat hati aku luka lagi. Cukup hal itu terjadi sekali. Ayah, Ibu,
aku mencintai kalian.
Oh iya, Ayah. Soal janji Ayah
tentang uang sebesar 500 juta itu tolong sumbangkan ke yayasan anak kanker dan
anak cacat yah. Mereka sangat membutuhkan itu untuk biaya pengobatan dan
pendidikan mereka.
Aqhila.
Ibu tak kuasa menahan tangisnya. Ayah
merasa sekujur tubuhnya menjadi lemah terkulai. Mengapa harus penyesalan yang
datang belakangan. Penyesalan yang semestinya mereka sadari sedari dulu. Begitu
bodohnya mereka mensia-siakan anak yang begitu spesial. Namun, semua penyesalan
itu tiada gunanya lagi. Mereka sekarang hanya bisa melakukan apa yang
diharapkan Aqhila.
Ashila
sekarang telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Ashila melihat mata Ibunya
sembab. Ashila juga melihat Ayahnya
murung di atas sofa.
“Ibu
sama Ayah kenapa? Nggak senang liat aku sembuh?” tanya Ashila.
Ibu menggeleng dan menyunggingkan seulas
senyum. Ibu kemudian memberikan secarik kertas kepada Ashila. Itu adalah surat
dari Aqhila. Ashila menatap surat itu lalu membacanya.
Hai, Ashila. Semoga saat kamu baca surat
dari aku, kamu sudah dalam keadaan yang lebih baik yah. Ashila, kamu adalah
kakak kembarku yang paling hebat. Kamu selalu membuat semua orang disekitarmu
menjadi bangga sama kamu. Terutama Ayah dan Ibu. Mereka begitu bahagia
mempunyai anak seperti kamu. Kamu memang pantas akan hal itu. Ashila, aku harap
dengan sembuhnya kamu, kamu bisa mewujudkan segala impianmu, impianku, dan
impian Ayah sama Ibu. Aku mohon Ashila, jangan pernah buat Ayah sama Ibu
kecewa. Karena aku tidak ingin kekecewaan mereka itu terjadi kembali. Ashila,
aku titip Ayah dan Ibu yah. Dan terakhir, yang harus kamu tahu adalah aku
sangat menyayangimu.
Aqhila.
Ashila menutup surat itu kemudian
menatap Ibu dengan tatapan -aku-butuh-penjelasan-. Seolah mengerti tatapan itu,
Ibu lalu menangis sambil memeluk Ashila.
“Sayang,
Aqhila mendonorkan hatinya untuk kamu.” kata Ibu. Seakan tak percaya, tangis
Aqhila pun pecah.
“Nggak
mungkin, Bu. Nggak mungkin!! Nggak mungkin Aqhila sebaik itu. Aku selalu
menyakitinya, Bu!” bantah Ashila.
“Aqhila
menolongmu dengan tulus, Nak. Dia sama sekali tidak mempunyai dendam kepadamu.”
kata Ibu berusaha menenangkan Ashila. Tidak lama kemudian emosi Ashila pun
mereda. Suasana hening sejenak.
“Oh,
iya. Ada satu surat lagi yang tulisannya buat orang yang namanya karel. Siapa
yah orang ini?” kata Ibu memecahkan keheningan.
“Hm..
kayaknya aku tahu dia, deh. Aku pernah liat seorang cowok ditaman dekat rumah
bersama Aqhila. Mungkin aja dia orangnya.” Seru Ashila.
“Ya,
nanti kalau begitu kamu temuin orangnya.” kata Ayah kepada Ashila. Ashila pun
segera mengangguk.
....
Diatas kursi taman yang sepi, Karel
duduk dengan tampang gelisah. Cowok berpostur tubuh tinggi kurus itu
akhir-akhir iniselalu mendatangi sebuah taman dekat rumah Aqhila untuk menemui
Aqhila. Akan tetapi tujuan itu nihil. Ia tak pernah lagi bertemu dengan Aqhila
setelah hari dimana ia memberikan hadiah untuknya. Ia bingung sekaligus takut
tentang segala hal yang terjadi dengan Aqhila. Lama melamun, ia sekilas melihat
bayangan seseorang didepannya. Ia memandang wajah orang itu kemudian bangkit
dengan senyum lebar.
“Aqhila!
Lo kemana aja? Gue khawatir sama lo!” kata Karel yang tak dapat menyembunyikan
kegirangannya.
“Hm..
sorry. Gue bukan Aqhila. Gue Ashila, kembarannya Aqhila. Lo Karel, kan?” kata
Ashila ragu-ragu. Karel baru saja sadar kalu Aqhila orangnya bisu dan lumpuh.
Berarti orang yang didepannya ini memang bukan Aqhila.
“Oh..
iya gue Karel. Aqhilanya mana?” tanya Karel. Seketika ia merasa ada yang ganjil
dengan hal ini.
“Eergh..
Aqhila udah pergi ninggalin kita semua.” Jawab Ashila sambil menundukkan
kepala. Sampai kapan pun ia tak akan enak hati karena merasa bersalah. Ia akan
selalu merasa mempunyai utang budi yang sangat besar kepada Aqhila.
“Ap-a?
Bagaimana bisa? Dia nggak pernah cerita kalau dia punya penyakit parah.” bantah
Karel tak percaya.
“Emang
bukan dia, tapi gue. Gue yang punya penyakit kanker hati. Tapi dialah yang
mendonorkan hatinya buat gue.” jelas Ashila. Karel terduduk lesu pada bangku
taman. Ia tak tahu harus berbuat apa. Pikirannya sekarang campur aduk.
“Sebelum
itu, dia nitipin surat ini buat lo.” kata Ashila kemudian memberikan surat dari
Aqhila kepada Karel. Karel menerima suratnya dengan lemah. Perlahan ia membuka
surat itu.
Karel, makasih yah udah hadir dalam
kehidupan aku. Aku bersyukur karena bisa sempat kenal dengan kamu. Kamu adalah
orang yang dapat merubah hidup aku menjadi lebih bermakna. Kamu mengajarkan aku
tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Mungkin, kamu adalah orang yang
dikirim Tuhan untuk menjawab seluruh pertanyaanku. Pertanyaan untuk tujuan
hidupku. Sekali lagi makasih untuk semuanya. Dan yang paling penting, kamu
harus tahu kalau kamu adalah hal yang sangat berarti bagi aku.
Aqhila.
Karel menutup suratnya dengan tenang.
“Dia
adalah sosok seorang malaikat.” kata Karel dengan pandangan lurus kedepan.
“Lo
bener. Dia adalah malaikat bagi keluarga gue. Tapi malaikat itu udah pergi,
terbang jauh!” balas Ashila kemudian duduk disamping Karel.
“Dia
pasti udah tenang dialam sana.” kata Karel. Ashila membalas dengan anggukan.
“Hm..
lo mau nggak bantuin gue sama orang tua gue buat menuhin permintaan terakhir
Aqhila?” tanya Ashila.
“Permintaan
apa?” Karel balas bertanya.
“Dia
pengen ngasih sumbangan buat anak-anak yang ada di yayasan anak kanker dan
cacat.” Jawab Ashila.
“Pasti!”
kata Karel sambil tersenyum. Keduanya kemudian bangkit lalu meninggalkan taman
itu.
Jauh
dari dunia yang begitu fana, Aqhila melihat segalanya sambil tersenyum cerah.
Kebahagiaan sesungguhnya telah ia dapat ketika ia menemukan orang yang
disayanginya itu bahagia karenanya.
Label:
cerpen author
Langganan:
Komentar (Atom)