Semilir angin malam masuk ke dalam kamar
Zya melalui jendela kamarnya yang terbuka. Angin yang kemudian berhembus tepat
ke arah wajahnya membuat kejenuhan Zya sedikit berkurang. Besok adalah hari
pertamanya masuk kejenjang SMA. Tapi, ia sudah harus belajar dengan keras
karena sebulan lagi akan mengikuti lomba olimpiade fisika. Sebenarnya sekarang
ia tidaklah sedang belajar, melainkan ia sedang melamun, menghayalkan
kisah-kisah kehidupannya nanti. Sambil membolak-balikkan kertas bukunya, ia
mendesah pelan. Akankah hidupnya selalu seperti ini? Terus berkecimpung dengan
buku-buku pelajaran yang terkadang membosankan. Tiada waktu untuk melakukan hal
lain.
Mama
masuk kedalam kamar Zya dan melihatnya sedang terpaku pada suatu buku yang
penuh dengan kumpulan soal. Dengan membawa secangkir susu hangat, mama
mendekati Zya.
“Zya,
kok jendela kamarnya nggak ditutup?” tanya mama sambil meletakkan secangkir
susunya di dekat Zya. Kemudian mama berjalan ke arah jendela bermaksud untuk
menutupnya.
“Lagi
cari angin, Ma. Lumayan buat nemenin aku belajar.” Jawab Zya. Ia masih terpaku
pada bukunya dengan wajah datar.
“Udah,
sekarang kamu tidur. Besok kan kamu sekolah. Nanti telat lho.” kata mama yang
sudah menutup jendela kamar Zya.
“Iya,
Ma.” balas Zya dan segera membereskan buku-buku pelajarannya.
“Oh,
iya. Susunya jangan lupa diminum ya.” kata mama diambang pintu kamar Zya. Zya
pun mengangguk lalu melihat mama yang telah menghilang dari balik pintu
kamarnya.
****
Terik matahari disekitar danau, arah
jalan pulang ke rumah Zya seakan menambah beban hidupnya. Dua minggu berlalu
masa SMA-nya dimulai. Namun, ia tak dapat menikmati masa putih abu-abunya itu
layaknya para remaja lainnya. Jujur, Zya sangat ingin mengikuti ekskul-ekskul
yang ada di sekolahnya. Ia ingin tahu rasanya berorganisasi. Ia ingin disebut
sebagai anak PMR, PASKIBRA, Pramuka, ataupun lainnya. Tapi apa daya, orang tua
Zya tidak mengizinkan. Bahkan mereka memberikan Zya jadwal-jadwal bimbel yang
sangat padat.
Untuk
melampiaskan kekesalannya, Zya refleks menendang sebuah kaleng bekas yang ada
di depan kakinya. Dan tanpa sengaja pula kaleng bekas itu mengenai kepala
seorang cowok yang kira-kira umurnya sebaya dengan Zya. Kaget, Zya segera
menghampiri cowok itu yang tengah duduk di pinggir danau sambil meringis
kesakitan.
“Duh,
sorry yah. Aku nggak sengaja. Beneran, deh. Aku nggak sengaja.” kata Zya dengan
wajah panik dan memohon.
“Eh,
kamu hati-hati dong. Kamu pikir ini nggak sakit?” kata cowok itu dengan tampang
kesal.
“Ya,
aku kan udah minta maaf. Lagian nanti kepala kamu nggak akan benjol-benjol amat.”
balas Zya sambil memelas.
“Hhh..
terserah kamu, deh. Ngomong-ngomong, ngapain sih kamu pake nendang kaleng
segala? Kurang kerjaan banget!” tanya cowok itu. Entah apa yang membuat Zya
serasa mudah mempercayainya. Danau yang tenang membuat lisan Zya berkata dengan
lancar menceritakan keluh kesahnya. Disaat itu pula cowok itu menjadi pendengar
yang baik.
“Kamu
nggak boleh gitu. Seharusnya kamu bersyukur karena kamu punya orang tua yang
peduli dan bisa memperhatikan cita-cita kamu. Di luaran sana banyak kali yang
pengen kayak kamu. Kehidupan yang berkecukupan, dikelilingi orang yang kita
sayang, dan merasakan nyamannya menuntut ilmu. Termasuk aku. Aku merasa iri setelah
dengar cerita kamu. Aku sekarang udah nggak bisa lanjutin sekolah aku. Semenjak
Ibu aku sakit, aku yang mesti cari uang buat biaya hidup aku, adik aku, dan Ibu
aku.” sela cowok itu setelah Zya selesai mengungkapkan keluh kesahnya.
“Emangnya
Ayah kamu kemana? Terus, sekarang kamu kerja apa?” tanya Zya penasaran.
“Ayah
aku udah lima tahun ini nggak balik ke rumah. Kabar terakhir yang aku dengar,
dia jadi buronan polisi karena tersangka sebagai pengedar narkoba. Sekarang aku
ngegantiin posisi Ibu aku sebagai penjual kasur keliling.” jawab cowok itu.
“Hah?!
Kamu nenteng – nentengin kasur? Berat banget dong!” Zya tersontak kaget. Ia tak
percaya kalau pekerjaan cowok itu sangatlah tak mudah.
“Mau
diapain lagi. Malahan aku senang, karena yang merasakan penderitaan seperti ini
bukan lagi Ibu aku.” kata cowok itu setengah tersenyum. Zya terangguk-angguk.
“Anyway, dari tadi kita ngobrol, tapi aku
belum tahu nama kamu. Aku Zya.” kata Zya yang baru menyadari bahwa ia belum
mengetahui nama cowok itu.
“Oh
iya, ya. Aku Aryan. Hm.. aku nggak bisa lama-lama disini. Aku mesti beliin Ibu
aku obat.” kata Aryan kemudian bangkit dari duduknya.
“Terus
habis itu kamu mau kemana?” tanya Zya.
“Ya
pulang ke rumahku lah!” jawab Aryan heran.
“Aku
boleh nggak ikut ke rumah kamu? Aku pengen nengokin Ibu kamu.” kata Zya dengan
senyum manisnya. Aryan mengerutkan alisnya, tapi ia mengizinkannya juga. Mereka
segera meninggalkan danau itu. Ada satu masalah yang sedang dilakukan Zya yang
pastinya akan membuat orang tuanya marah.
****
Tubuh Zya terhempaskan di atas kasurnya
yang empuk. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Seperti yang ia duga, kedua
orang tuanya pasti marah. Jelas mereka marah! Ada tiga bimbel yang Zya lewatkan
pada hari ini. Tapi, Zya tak merasa menyesal akan perbuatannya. Bahkan ia
merasa hari ini ia mendapat pengalaman yang luar biasa. Hari ini ia baru
mengetahui cara hidup masyarakat yang kurang mampu. Kehidupan yang penuh
penderitaan, perjuangan, dan hati yang ikhlas dalam menghadapi berbagai cobaan.
Pintu hati Zya terketuk saat melihat kisah hidup Aryan. Zya seakan malu pada
dirinya sendiri. Mulai saat ini, Zya bertekad akan belajar dengan
sungguh-sungguh dan berusaha untuk memenangkan olimpiadenya nanti.
Zya
tak dapat tidur malam ini. Ia terus memejamkan matanya berharap dapat terlelap
dan alhasil ia tetap terjaga. Karena itu ia memutuskan untuk belajar. Ia harus
memenangkan olimpiade itu agar dapat menjalankan misinya. Dan besok ia akan
berbicara kepada kedua orang tuanya tentang misinya secara baik-baik.
****
Tiga
minggu kemudian...
Aryan sedang duduk termangu menunggu
kedatangan Zya. Kemarin Zya menyuruh Aryan untuk menemuinya di tempat pertama
kali mereka bertemu. Lelah menunggu, Aryan ingin berbalik pergi. Tapi tiba-tiba
suara histeris memanggil namanya. Aryan segera menoleh ke sumber suara yang
ternyata adalah Zya.
“Kamu
kemana aja, sih?! Kamu yang bikin janji tapi nggak on time. Kamu pikir aku nggak ada kesibukan selain nungguin kamu?”
kata Aryan sambil memasang wajah kesalnya.
“Huh..hh..hh..
maaf yah. Tadi lagi ada emergency, soalnya!”
kata Zya yang sementara ngos-ngosan. Ia pun mendudukkan dirinya diikuti Aryan.
“Apapun
itu, aku nggak peduli. Maksud kamu nyuruh aku kesini buat apa?” tanya Aryan tak
acuh.
“Aku
menang lomba olimpiade fisika tahun ini!!” jerit Zya sangat histeris.
“Oh..
selamat, ya.” balas Aryan tanpa ekspresi apapun. Zya mengerucutkan bibirnya.
“Tapi
bukan itu intinya.” sahut Zya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Sebuah cek yang telah tertera sejumlah nominal uang diatasnya. Aryan menatap
Zya bingung ketika Zya memberikan cek itu kepadanya.
“Ini
beasiswa dari kemenangan aku. Aku mohon kamu bisa nerima beasiswa ini. Karena
kamu harus tahu, aku menangin lomba ini buat kamu. Sejak aku kenal kamu, aku
ngerasa jauh lebih beruntung. Aku ngerasa bersalah karena sering menuntut
keadaan. Aku salut sama kamu. Dalam saat seperti ini kamu udah punya tanggung
jawab yang sangat besar. Kamu harus mambiayai hidup kamu sendiri, adik kamu,
dan Ibu kamu. Nggak semua orang bisa ngelakuinnya kayak kamu!” kata Zya yang
membuat Aryan segera menggelengkan kepala.
“Apa-apaan,
nih! Aku nggak butuh yang beginian!” tolak Aryan.
“kamu
butuh, Ar. Kamu butuh ini buat biaya pengobatan Ibu kamu dan pendidikan kamu
sama adik kamu.” kata Zya sambil tetap menyodorkan cek itu kepada Aryan.
“Aku
memang butuh uang buat biaya pengobatan Ibu aku. Tapi kalo masalah pendidikan
aku.. itu nggak penting! Yang jelas, adik aku bisa sekolah. Biarin aja aku
titip impian aku ke dia. Dan soal itu semua, aku bisa cari pekerjaan yang lebih
banyak. Pokoknya apa aja, yang penting halal!” kata Aryan yang tetap bersikukuh
untuk menolak pemberian Zya.
“Kamu
punya impian tersendiri. Adik kamu juga begitu. Kamu berhak meraih impian kamu
sendiri. Siapa tahu dengan kamu sekolah lebih tinggi, kehidupan kamu akan lebih
baik nantinya. Kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih layak.” bujuk Zya
“Tapi..
bagaimana dengan orang tua kamu? Mereka setuju dengan hal ini?” tanya Aryan.
Zya mengangguk tegas.
“Aku
udah kasih tahu mereka dan responnya juga baik.” jawab Zya. Aryan merenung
sejenak. Kata-kata Zya terus terngiang di telinganya. Dengan perasaan ragu,
Aryan mengambil cek itu dari tangan Zya. Kini Zya tersenyum tulus. Misinya
telah berhasil dilakukannya.
Aryan
sangat bersyukur kepada sang khalik, karena sudah mempertemukannya dengan
seorang gadis yang sangat berhati mulia. Ia tak menyangka, pertemuan yang
secara tiba-tiba menjadikan awal perubahan hidupnya.
“Allah melapangkan rezeki bagi orang yang
dia kehendaki diantara hamba-hambaNya dan dia pula yang membatasi baginya.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Al-‘Ankabut/29:62)