Moshi-moshi minna-san! Alhamdulillah akhirnya author masih diberikan umur yang panjang oleh Allah SWT. untuk bisa bertemu sama bulan ramadhan kali ini. Nah, berhubung author punya ide pas bikin sop buah sebagai takjil kemarin, maka jadilah cerpen ini;) Sop buah disini juga kesukaan author lohh *gak ada yg nanya:p
Oke, cukup cuap-cuapnya. Happy reading guys, I hope u enjoyed with my story.. and Minal aidin wal faizin:) Happy fasting for muslim in the world!
LET ME CLOSE TO YOU
Cewek
yang sedang membawa sajadah itu segera berlari menghampiri seorang cowok yang
baru saja keluar dari rumahnya. Mukenah yang dia kenakan membuatnya sedikit
terhambat untuk menyamakan langkah dengan cowok berbaju koko yang kini ada di
depannya.
“Tsabit tungguin gue, dong!” cowok
yang merasa namanya dipanggil, segera menghentikan langkahnya kemudian menoleh
ke belakang. Hal ini tentu tak disia-siakan oleh cewek ini. Dia segera
mempercepat langkahnya hingga dapat berdiri disamping Tsabit.
“Orlin, wudhu gue bisa batal kalau
lo dekat-dekat gini sama gue. Sana ah, jauh-jauhan dikit!” Orlin memasang wajah
cemberut setelah mendengar perkataan Tsabit.
“Yaelah, gua kan gak nyentuh lo.
Mana bisa batal,” ucap Orlin dengan nada yang sengaja dibuat kesal.
“Ya emang belum. Tapi kalo lo deket
banget sama gue kayak begini, ntar gue gak sengaja nyentuh lo gimana?” Tsabit
berusaha memberikan penjelasan kepada Orlin dengan nada yang lebih lembut.
Entah kenapa nada kesal dari Orlin selalu membuatnya cemas. Tsabit tidak ingin
Orlin kesal ataupun sampai marah kepadanya karena hal itu seolah membuatnya
merasa sangat bersalah dan ia sangat benci akan kenyataan itu.
“Lo kenapa sih? Gue kan cuman mau
pergi ke mesjid buat sholat subuh bareng lo sama seperti ramadhan-ramadhan yang
lalu pas kita masih kecil.” Sahut Orlin yang hanya di tanggapi dengan helaan
napas singkat dari Tsabit.
“Percepat jalan lo biar kita gak
masbuk.” Ucap Tsabit lalu melangkah kembali untuk menuju masjid bersama Orlin
disampingnya. Tsabit tersenyum kecil melihat kaki pendek Orlin yang berusaha
menyesuaikan langkahnya dengan langkah kaki Tsabit yang panjang dan memiliki tempo
yang cepat. Ditambah lagi dengan mukenah yang Orlin kenakan, terlihat sangat
imut bagi Tsabit.
“Eh, abis sholat subuh kita jogging, yuk!” ajak Orlin dengan penuh
semangat. Merasa dipandang oleh Orlin, Tsabit segera menormalkan wajahnya.
“Abis sholat gue mau tadarusan dulu.
Di bulan suci ini mending perbanyak pahala deh.” Tsabit memberikan alasan. Ia
sebenarnya senang bisa berada di dekat Orlin, hanya ia tak bisa.
“Habis lo tadarusan kan bisa. Gue
juga mau tadarusan dulu, kok.” Sanggah Orlin. Namun Tsabit tak menanggapi dia
lagi dan langsung masuk ke dalam masjid saat mereka telah sampai.
****
“Tsabit... Tsabit.. maen yokk.. eh,
salah. Kebiasaan dari kecil nih.” Orlin terkekeh mendengar ucapannya sendiri.
Ia telah berada di depan rumah Tsabit yang letaknya tepat di samping rumahnya.
“Tsabiiittt.. Tsab –”
“Apaan sih lo teriak-teriak? Berisik
tahu gak. Masih pagi woy.” Tegur Tsabit setelah keluar dari dalam rumahnya.
Sementara yang ditegur hanya menyengir lebar.
“Justru itu karena masih pagi gue
pengen ngajakin lo jogging. Kan gua
udah bilang tadi subuh.” Ucap Orlin santai.
“Duh, gua males banget. Lo aja sana.
Orang lagi puasa harusnya nyimpan tenaga, nah lo rajin amat buat jogging.” Tsabit kembali membuat alasan.
“Puasa itu bukan alasan untuk
malas-malasan. Lo jogging sambil
puasa malah bikin sehat tahu. Toh, dulu waktu kita kecil lo yang paling
semangat kalo masalah jogging abis
sholat subuh. Malahan lo sampe masuk ke kamar gue cuman untuk bangunin gue.”
Ucap Orlin yang sangat kecewa dengan penolakan Tsabit.
Bukannya
ia tidak menyadari perubahan yang ada pada diri Tsabit. Ia sungguh
menyadarinya, tetapi ia tidak ingin menerima perubahan itu secara tiba-tiba
tanpa ada penjelasan. Orlin dan Tsabit sudah bersahabat sejak mereka masih di playgroup. Kedekatan mereka sudah
layaknya seorang kakak-beradik yang saling mengerti dan saling menyayangi satu
sama lain. Namun, kedekatan itu perlahan memudar saat mereka menaiki kelas 3
SMP. Hal ini akibat perubahan yang ditunjukkan Tsabit. Entah apa penyebabnya,
Tsabit perlahan mulai menghindari Orlin. Ia tak lagi ingin pergi jalan hanya
berdua dengan Orlin, jarang mau disentuh Orlin, bahkan hanya berbicara
seperlunya dengan Orlin.
“Orlin, kita sama yang dulu tuh udah
beda. Sekarang kita udah SMA – ”
“Iya, gue tahu kita yang sekarang
itu udah beda. Dan lo penyebab dari renggangnya persahabatan kita. Emang kenapa
kalau misalkan kita udah SMA? Gue rasa gak ada masalahnya dengan itu!” Orlin
segera memotong perkataan Tsabit dengan kata-kata yang menohok. Orlin sudah
merasa bosan dengan alasan yang dikemukakan Tsabit. Alasan yang sudah sangat
lama Tsabit gunakan tanpa penjelasan yang lebih jelas.
“Hhh, oke. Gue kasih tahu sama lo
alasan gue yang sebenarnya. Lin, kita itu bukan anak-anak lagi. Gue gak bisa
terus dekat-dekat sama lo seperti dulu. Gue takut kalau aja diantara kita
nantinya punya perasaan yang lebih dari sahabat. Gue gak mau diantara kita ada
yang tersakiti karena perasaan konyol yang disebut cinta.” Jelas Tsabit. Inilah alasan yang sangat ingin
didengar Orlin. Namun alasan ini juga yang sekarang membuatnya terluka.
“Lo bilang lo takut kalau diantara
kita bakalan punya rasa yang lebih dari sahabat? Tsk, telat Lo! Karena pada
akhirnya I’M FALLING IN LOVE WITH YOU!
Oh ya, lo juga gak mau kan kalau diantara kita ada yang tersakiti? Tapi
kenyataannya gue udah tersakiti karena perasaan konyol yang lo maksud itu.”
Orlin tak bisa menahan perasaannya lagi. Dia tak ingin tersiksa akan perasaan
yang dia pendam selama ini. Mata Orlin telah berkaca-kaca yang membuat Tsabit
terus berharap di dalam hatinya agar air bening dari mata Orlin tidak sampai
mengalir di pipi cewek yang sangat ia sayangi itu.
“Sorry.. gue benar-benar minta maaf sama lo.” Ucap
Tsabit tulus. Ia terlalu kaget mendengar pengakuan Orlin dan dia juga tidak
tahu harus berbuat apa. Akan tetapi, satu ide terlintas dalam pikirannya.
“Kita bisa aja pacaran. Asal lo bisa
menyelesaikan teka-teki gue ini.” Wajah penuh harap disertai senyuman lebar
dari Orlin menjadi respon utama dari perkataan Tsabit.
“Apaan?!” tanya Orlin antusias.
“Gue mau pas waktu berbuka nanti, lo
bawa makanan satu ini ke rumah gue. Makanan ini warnanya kayak pelangi dalam
lautan air putih. Rasanya yang lembut dan manis selalu bisa melepas dahaga.
Apalagi kalau udah dalam keadaan yang dingin banget. Oke, that’s the clue!” jawab Tsabit dengan nada penuh misteri. Orlin
tampak berpikir sejenak.
“Oke, itu mah gampang. Awas aja ya
lo. Kalo gua beneran bisa bawain makanan yang tepat, kita harus jadian.” Ucap
Orlin lebih mengarah pada sebuah ancaman. Tsabit mengangguk untuk menjawab
Orlin.
“Eits.. tapi lo jangan lari dari
ajakan gue sekarang. Cepetan gih siap-siap, ntar keburu tinggi mataharinya gak
jadi jogging deh kita.” Ujar Orlin
setelah teringat tujuan utamanya ke rumah Tsabit.
“Lo masih mau jogging? Yakin lo?” Orlin mengangguk mantap setelah melihat
ekspersi ragu dari Tsabit.
“Iya. Udah ah cepetan ganti baju.
Atau mau gue masuk ke kamar lo dan pilihin baju buat lo kayak yang pernah gue
lakuin waktu masih kecil?” ancam Orlin yang kali ini sontak membuat mata Tsabit
melonjak kaget.
“Enggaklah! Gila aja lo.” Ucap
Tsabit cepat. Ia takut kalau Orlin benar-benar nekat nantinya.
“Yaudah, sana. Gak lama kok kita.
Gue cuman mau ngajakin lo ke taman bermain. Pengen bernostalgia haha,”
“Oke, kali ini aja yah. Lo tunggu
disini, gue ganti baju dulu.” Tsabit akhirnya pasrah. Dia tidak mungkin lagi
menentang permintaan Orlin. Orlin pun tersenyum penuh kemenangan setelah
melihat Tsabit masuk ke dalam rumahnya. Dalam hati ia terus berpikir makanan
apa yang Tsabit maksud. Dia harus segera menebaknya demi memperbaiki hubungan
mereka.
****
Pukul
17.30 Orlin tiba di rumah Tsabit sambil membawa makanan yang dia yakin
merupakan jawaban yang tepat dari teka-teki Tsabit. Orlin melihat Tsabit sedang
membaca buku di sofa ruang tengah. Orlin segera menuju ke tempat Tsabit dan
duduk tepat disampingnya. Tsabit menoleh kaget ke arah Orlin yang tengah
menatapnya ceria.
“Nih, gue udah bawain makanan dari
teka-teki lo itu. Hebat kan gue?” Orlin menyodorkan sebuah kantung plastik
berisi makanan yang dia bawa tadi.
“Apaan? Lho kok jawabannya es krim
sih?” tanya Tsabit setelah membuka isi
dalam kantung plastik tersebut. Orlin mengerutkan keningnya, bingung sekaligus
khawatir jika tebakannya salah.
“Ya gue pikir jawabannya itu makanan
kesukaan gue, es krim tiga warna yang dicampur sama milkshake vanilla.” Jawab
Orlin ragu. Dia merasa malu dan sangat bodoh karena begitu percaya diri untuk
berpikir makanan kesukaannyalah yang dijadikan teka-teki oleh Tsabit.
“Gue ke dapur dulu yah.” Tsabit
segera pergi menuju dapurnya, meninggalkan Orlin yang sedang menundukkan
kepala. Tak berapa lama Tsabit datang sambil membawa semangkuk sop buah.
“Makanan yang gue maksud itu adalah
makanan kesukaan gue, yaitu sop buah ini.” Ucap Tsabit setelah kembali ke
tempat duduknya. Orlin pun memandangnya heran.
“Sejak kapan lo suka makan sop buah?
Bukannya lo gak suka banget yah?” Tsabit hanya mengedikkan bahunya mendengar
pertanyaan Orlin.
“Sejak nyokap gue bikin sop buah
rasa ini pas bulan ramadhan yang lalu. Sop buah yang airnya warna putih jernih
dari campuran susu, krimer, air gula dan sedikit sirup rasa melon. Cuman sirup
rasa melon yang gue suka itupun gak terlalu. Yang isinya buah apel, anggur,
pepaya, melon, dan jelly yang semuanya harus dipotong dadu karena gue gak suka
kalau buahnya diserut.” Jawab Tsabit. “So..
jawaban lo salah.” Lanjut Tsabit.
“Wait,
gue mau nanya sama lo. Kalau misalnya gue berhasil menebak teka-teki lo
ini, apa lo beneran yakin untuk pacaran sama gue?” Tsabit terdiam mendengar
pertanyaan Orlin. Dia tahu, Orlin tidak akan bisa menebak teka-tekinya ini.
Maka dari itu dia berani membuat perjanjian dengan Orlin.
“Lo diem artinya lo emang gak pernah
niat buat jadian sama gue. Mau gue bener apa nggak buat jawab teka-teki lo,
tetap aja lo gak bakalan mau jadian sama gue. Jadi sekarang lo cuman mainin gue
gitu? Tega lo!” Tsabit terkaget mendengar tudingan Orlin yang tak sepenuhnya
benar. Orlin yang emosinya sudah memuncak segera berdiri berniat untuk pergi.
Namun, ujung baju lengan panjangnya ditarik oleh Tsabit yang membuat dia
tertahan. Orlin sempat tak menyangka melihat tangan Tsabit kini memegang ujung
lengan bajunya. Untuk pertama kali setelah satu tahun hubungan merenggang
mereka, Tsabit memegangnya kembali. Meskipun hanya sekadar ujung lengan
bajunya.
“Please
duduk dulu, Lin. Gue gak mau lo pergi dipenuhi dengan kesalahpahaman.”
Orlin kembali duduk di tempatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia
menunggu penjelasan dari Tsabit.
“Gue dari awal sebenarnya udah
khawatir jika hal ini terjadi. Makanya gue berusaha untuk jaga jarak sama lo.
Dan saat lo ngomong kalau lo suka sama gue, kekhawatiran gue berubah jadi rasa
takut. Gue gak pernah mau buat pacaran karena gue gak mau narik lo masuk ke
dalam hal yang mendekati zina. Jujur, gue tertarik sama lo. Tapi gue akan
selalu berusaha mengontrol perasaan gue ini hingga waktu yang tepat untuk diutarakan.
Jadi tolong, jangan pernah salah paham lagi sama gue.” Orlin takjub mendengar
perkataan Tsabit. Semenit berlalu, ia masih takjub. Semenit berikutnya Orlin
sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Tsabit yang terlihat
menggemaskan menunggu respon dari dia.
“Ya Allah, gue gak pernah minta
pacaran kali. Lo aja tuh yang langsung nawarin ke gue, ya jadi gue terima
ajalah tawaran lo. Tsabit, dengerin gue baik-baik. Gue itu cuman mengutarakan
perasaan. Just it. Gak lebih. Yang
gue harap itu kita bisa kembali menjadi sahabat yang saling mengerti dan
menyayangi seperti dulu. Tahu gak, sekarang gue berasa orang asing buat lo yang
notabene sahabat lo dari kecil. Gue mau kenal lo lebih dekat lagi. Lebih dari
apa yang gue tahu selama ini tentang lo. Jangan pernah menghindar lagi yah dari
gue.” Orlin menatap Tsabit penuh permohonan.
“Gak lagi deh. Ya, gue akan tetap
jadi sahabat lo dan akan memulai kembali untuk mengenal lo juga. Tapi, ada satu
hal yang gue minta pengertian dari lo. Meskipun kita sahabatan, kita tetap gak
bisa seperti dulu. Kita tetap harus mematuhi aturan pergaulan yang ada dalam
Islam. Paham kan maksud gue?” Orlin tersenyum penuh arti saat mendengar
pertanyaan Tsabit. Dia kemudian mengambil mangkuk sop buah yang terletak di
atas meja.
“Iya, gue paham kok. Yang gue maksud
mengenal lo lebih dekat ya bisa dimulai dari ini, mengetahui makanan kesukaan
lo yang baru. Gue pasti akan selalu ingat resep sop buah buatan nyokap lo biar
suatu saat gue juga bisa bikinin buat lo.” Sahut Orlin sambil mengaduk-aduk isi
sop buah Tsabit. Pandangan Orlin sengaja dia fokuskan dan menunduk ke arah sop
buah yang sedang ia pegang untuk menyembunyikan wajahnya yang sedang blushing. Tsabit menyadari perubahan
tingkah laku Orlin dan turut tersenyum geli melihatnya.
Senja
saat menanti waktu berbuka puasa terasa berbeda bagi Orlin dan Tsabit kali ini.
Mereka telah memperbaiki hubungan mereka yang renggang karena suatu hal yang
semestinya tak perlu dipermasalahkan. Menikmati indahnya kisah persahabatan
yang diselipkan cinta bukan berarti harus dirubah ke dalam hal yang rumit.
Perasaan bukanlah mainan yang dapat dibolak balik oleh manusia. Merupakan hal
wajar jika manusia memiliki perasaan tertarik terhadap lawan jenisnya. Namun,
persahabatan antara lawan jenis bukan berarti tak boleh adanya. Selama mereka
tahu batasan-batasan yang dapat mereka lakukan, why not? Sungguh Allah Maha Mengetahui segala hal yang hambanya
sendiri tak ada yang mengetahui.
0 komentar:
Posting Komentar