CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 06 Mei 2014

Anugerah cinta

Hidupku terasa hampa berjalan di tengah kelamnya malam. Hawa dingin yang menyelubungi tubuhku mengantarkan pikiranku kedalam peristiwa yang dulu pernah terjadi. Awal kejadian yang telah merubah kehidupanku menjadi sia-sia. Kejadian yang membuatku seperti orang yang paling bodoh di muka bumi ini. Kini aku hanyalah seorang gadis yang tak tahu harus berbuat apa lagi. Hal yang terbayang di benakku tinggal kematian. Aku sudah tidak sanggup melanjutkan kehidupan dalam keadaan seperti ini. Hingga disinilah aku, di tengah jalan berharap akan ada seseorang yang menabrakku. Aku tak kuasa menahan tangisku saat ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi sambil terus membunyikan klakson mobilnya. Aku sudah tidak peduli lagi akan hal itu. Aku mulai memejamkan mataku, menarik napas dengan pasrah. Sampai kudengar deruman mobil itu semakin dekat, tiba-tiba tubuhku terasa mendapatkan dorongan yang keras hingga tubuhku terpentang ke arah trotoar. Aku menoleh pada seseorang yang telah mendorongku tadi. Wanita setengah baya yang dibalut pakaian muslimah. Ia pun juga menoleh ke arahku lalu segera menghampiriku.
            “Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya ibu itu. Aku menggeleng cepat dan seketika itu pun emosiku pecah. “Ibu kenapa nolongin saya!? Ibu kenapa tidak membiarkan saya mati!? Saya ingin mati, Bu! Saya ingin mati!!” ucapku hampir setengah sadar.
            “Astagfirullahaladziim, Nak. Kamu jangan berpikiran seperti itu! Jangan kamu pikir dengan kamu mati bunuh diri masalah kamu akan selesai? Tidak! Itu hanya akan menambah dosa kamu.” kata ibu itu sambil merengkuhku. Aku tak berusaha melepaskan rengkuhannya karena itu membuatku seperti merasakan hal yang selama ini  telah hilang dariku.
            “Nak, sekarang sudah malam. Sebaiknya kamu ikut ke rumah ibu saja dulu. Ayo, Nak!” lanjut ibu itu sambil berdiri untuk memapahku. Aku pun menuruti perintahnya. Sebaiknya memang begitu, karena aku sudah tidak punya tempat lagi untuk pulang. Kami segera melangkah menuju arah jalan ke rumah ibu itu.
****
            “Ini tehnya, Nak. Diminum, yah.” ucap ibu itu sambil meletakkan secangkir teh hangat di atas meja ruang tamu. Aku  sekarang telah berada di dalam rumah ibu yang telah menyelamatkanku tadi. Rumah yang tidak begitu luas, tapi tidak begitu sempit juga. Di rumah ini terdapat dua kamar, namun aku hanya melihat ibu ini sendiri. Setelah beberapa saat, aku menyeruput secangkir tehku. Hal itu membuatku sedikit lebih baik.
            “Terima kasih, Bu.” ucapku sopan lalu meletakkan secangkir tehku kembali ke atas meja.
            “Hm.. Nak, sebenarnya kamu kenapa? Kenapa kamu berani berbuat nekat seperti tadi? Memangnya orang tuamu kemana?” tanya ibu itu lembut. Aku merenung sejenak. Haruskah aku ceritakan kisahku kepada ibu ini? Namun tidak ada salahnya juga jika aku ceritakan. Siapa sangka aku bisa mendapatkan sedikit pencerahan dari ibu ini? Aku menghela napas panjang. “Ceritanya panjang, Bu. Enam bulan yang lalu, saya masuk ke salah satu SMA di Makassar. Saat itu hidup saya baik-baik saja. Saya hidup bersama ibu saya karena ayah saya telah meninggal sejak saya masih SMP. Namun pergaulan dengan teman-teman saya yang membuat awal dari kehancuran hidup saya. Semenjak saya bergaul dengan teman-teman SMA saya, saya sering keluyuran nggak jelas, pulang malam, bahkan bolos sekolah. Hingga suatu saat, ibu saya melarang saya untuk bergaul dengan mereka lagi karena perubahan sikap saya.
 Saat itu saya marah besar dengan ibu saya. Teman yang saya anggap adalah teman yang paling baik bagi saya malah harus dijauhi. Belum lagi saya memiliki seorang pacar yang sangat saya cintai. Hingga saya rela melakukan apapun demi dia, termasuk meninggalkan ibu saya yang waktu itu ternyata sedang sakit keras. Mulai dari saat itu, saya tidak pernah lagi ke sekolah. Kerjaan saya hanya nongkrong-nongkrong bersama teman-teman saya, melakukan hal yang tidak berguna, hanya sekedar mencari kesenangan belaka.
Beberapa bulan kemudian, saya mendapat berita bahwa ibu saya meninggal dunia. Saya sangat terpukul akan hal itu. Saya merasa sangat bersalah dan menyesal. Tapi, godaan dari teman-teman saya yang seakan mempunyai kekuatan yang lebih besar membuat saya jadi mengacuhkan hal itu. Kehidupan saya kembali seperti biasa. Sampai akhirnya, saya merasa sedikit demi sedikit teman-teman saya mulai menjauhi saya. Entah apa penyebabnya, saya mulai merasa sendiri. Dan dimalam inilah saya mendapatkan jawaban dari segala keganjilan yang saya alami.” ceritaku terhenti sejenak oleh isakanku  yang semakin menjadi-jadi. Ibu itu segera memelukku dengan penuh rasa empati. Aku bisa merasakan kehangatan yang ditransferkannya untukku.
“Pacar yang selama ini sangat saya cintai ternyata tidaklah mencintai saya. Begitu pula dengan teman-teman saya. Tujuan awal mereka mendekati saya adalah untuk membuat hidup saya menderita. Sahabat saya dari SMP, Anggika, mengaku iri dengan saya. Saya yang selalu menjadi siswi yang berprestasi dan menjadi murid kesayangan dari setiap guru. Dan lagi, orang yang dia suka ternyata menyukai saya. Maka dari itu dia ingin membalas dendam dengan saya.
Dia juga merebut pacar yang selama ini saya anggap baik. Kini saya hanya sebatang kara, saya tidak tahu lagi untuk apa saya hidup.” sambungku dengan masih terisak. Ibu itu melepaskan pelukannya.
            “Kamu tidak boleh beranggapan seperti itu, Nak. Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang, tugasmu adalah memperbaiki kesalahan yang telah kamu perbuat. Mulai sekarang, kamu bisa tinggal disini bersama ibu.” ucap ibu itu.
            “Lho, memangnya keluarga ibu dimana?” tanyaku.
            “Anak dan suami ibu telah pergi akibat kecelakaan pesawat yang menimpa mereka dua tahun yang lalu.” terang ibu itu. Suaranya tiba-tiba melemah. Aku mengusap-usap pundaknya. “Oh iya, ibu belum tahu nama kamu. Nama kamu siapa?” tanya ibu itu.
            “Nama saya Alina, Bu. Kalau ibu, namanya siapa?” balasku.
            “Nama ibu, Marissa.” jawabnya. “Nak, kalau kamu bisa melakukan apapun demi cintamu terhadap sesama manusia, berarti kamu juga harus rela melakukan apa yang diperintahkan oleh sang pencipta. Perlu kamu ketahui, tingkatan cinta yang paling atas adalah cinta kepada Allah swt., Tuhan semesta alam. Cinta yang akan membuatmu jauh lebih baik. Mulailah dulu dari hal yang kecil, menutup aurat, sholat, mengaji, dan kembali bersekolah.” ucap ibu Marissa. Aku pun mengangguk dengan mantap. Aku tak akan mensia-siakan kesempatan ini lagi. Aku akan berubah menjadi yang lebih baik.
****
Satu tahun kemudian..
Alina berjalan keluar dari salah satu restoran kecil yang ada di Makassar. Pandangannya terpaut pada layar kaca hp-nya. Tanpa sengaja ia menabrak seorang gadis yang kira-kira umurnya sebaya dengannya.
            “Eh.. sorry, aku nggak sengaja.” sahutnya lalu mengalihkan pandangannya ke arah gadis yang ditabraknya. “He-eh, Anggika? Apa kabar?” ucapnya tak percaya.
            “Alina? Hm.. kamu gimana?” tanya Anggika yang tampak jelas menyembunyikan rasa canggungnya.
            “Baik. Gimana dengan Verrel?” ucap Alina lagi. Ya, Verrel. Orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup Alina.
            “Oh.. dia, sekarang dipenjara karena kedapatan nge-drugs!” ucap Anggika. Raut wajahnya berubah menjadi gelisah.
            “Astagfirullahaladziim.. tapi, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Alina dengan perhatian yang tulus. Anggika tak kuasa menahan tangisnya. Ia lalu memeluk Alina.
            “Lin, maafin aku ya. Selama ini aku udah nyakitin kamu. Aku sangat menyesal akan hal itu. Asal kamu tahu, aku sekarang terjangkit virus HIV.” ucap Anggika sambil tersedu-sedu. Alina segera membalas pelukannya. Alina tak percaya akan hal yang menimpanya, tapi itulah yang terjadi. Tapi di satu sisi, Alina bersyukur karena Allah masih melindungi dirinya dari hal-hal yang tak diinginkan. Andai Alina belum mendapat hidayah, mungkin saja ia juga akan terjerumus dalam kesesatan. Maka dari itu ia selalu percaya, orang yang baik akan mendapatkan teman dan kehidupan yang baik pula. Entah itu sekarang atau suatu saat nanti.