CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 13 Januari 2016

DEAR, AYAH!


Ini hari pertamaku di tahun kedua ajaran SMA. Ayah, kau tahu bagaimana bahagiaku kan?’
Reffa melangkah memasuki gerbang sekolahnya dengan senyum yang tak lepas dari bibir mungilnya. Secercah harapan merasuki jiwanya yang damai. Masa abu-abunya kali ini akan ia ukir seelok mungkin. Ia sungguh telah menyiapkan alur kisah hidupnya. Upacara pengibaran bendera merah putih pun menjadi agenda pertamanya di sekolah. Setelah menyimpan tas di kelas, Reffa bergegas menuju lapangan.

            “Hai Reff, long time no see. Gimana keadaan kamu, baik-baik saja kan?” sosok cowok tinggi berdiri di depan Reffa menghalangi sinar matahari yang menimpa barisannya.

            “Oh hai, Ri. Iyalah aku baik-baik saja kok.” Reffa membalas sapaan Amri dengan sedikit heran.

            “Bagus deh. Hm, hari ini kan perkenalan komunitas sekolah kepada para siswa baru, kamu datang kan ke studio? Kita akan memilih ketua FM nanti. Aku harap kamu bisa terpilih menjadi ketua kita.” Reffa tersenyum simpul.

            “Aku pasti datang. Nggak mungkin aku menyiakan kesempatan ini. Yah, semoga saja aku bisa.” Tentu saja Reffa akan datang. Menjadi ketua FM merupakan salah satu agenda di masa abu-abunya. ‘Ayah, aku pasti bisa! Putrimu ini adalah gadis yang hebat.’

Dear

            “Oke, selamat datang bagi para siswa kelas sepuluh yang telah bergabung di Farewell Music  atau biasa kita singkat dengan FM. Disini kalian yang tentunya punya kemampuan dalam bermusik bisa lebih mudah mengembangkan bakat sekaligus meraih prestasi. Kita semua bisa saling berbagi informasi tentang dunia musik.” Suara tepuk tangan meriuhkan suasana atas cuap-cuap dari Kina.

            “Karena kita semua sudah berkumpul, kita akan mulai memilih ketua FM. Apa ada yang ingin mencalonkan diri?” tanya Kina. Semua orang yang ada di dalam studio terdiam. Reffa melihat sekeliling dan tak melihat seorang pun yang berniat untuk mencalonkan diri. Dia pun dengan percaya diri mengacungkan tangannya.

            “Ya, Reffa telah mencalonkan diri. Apa ada calon lain?” Tak ada lagi yang mengacungkan tangan setelah beberapa detik.

            “Sepertinya memang sudah tak ada calon lagi. Jadi, telah ditetapkan mulai hari ini kita memiliki ketua FM baru, yaitu Areffalonia Arum! Kepada saudari Reffa silakan maju ke depan untuk menyampaikan sepatah kata dan rancangan kegiatan awal FM di tahun ini.” Suara tepuk tangan kembali terdengar bahkan lebih meriah. Reffa melangkah maju ke samping Kina berdiri, kemudian mengambil mic yang diberikan kepadanya. Satu tarikan napas yang sangat dalam diambilnya kemudian dia hembuskan perlahan. ‘Aku bisa! Ayah, sebentar lagi aku akan mewujudkan impianku dan impianmu.’

            “Halo semuanya.. hm, pertama aku sangat berterima kasih kepada kalian yang sudah memberikan kepercayaannya agar aku dapat menjadi ketua komunitas Farewell Music. Aku janji akan melaksanakan kewajibanku dengan sebaik-baiknya. Adapun kegiatan perdana kita di tahun ini ialah kita akan membuat sebuah konser mini secara outdoor.” Ucapan Reffa disambut hangat oleh para anggota FM.

            “Wow, acara yang menarik! Lalu, kira-kira kapan acara itu berlangsung?” tanya Kina untuk memperjelas.

            “Secepatnya, mungkin akhir bulan depan. Kita harus cepat melaksanakan konser ini sebelum Festival Precious Band. Kita akan mengundang panitia festival itu untuk mendapatkan gold ticket sebagai artis di acara itu. Aku harap kerja sama dari kalian dalam menyukseskan acara ini. Oh iya, untuk tempat aku pikir taman gravitasi cocok untuk konser kita dan latihan akan kita mulai dari besok. Guys, bekerja keraslah untuk mencapai yang terbaik!” Reffa kembali ke tempatnya sembari mendapat sorakan gembira dari yang lainnya. Pertemuan komunitas pun segera bubar. Reffa berjalan keluar studio bersama Amri.

            “Wih, selamat ya Reff. Tuh kan, aku bilang juga kamu pasti bisa jadi ketua FM.” Ucap Amri.
            “Makasih. Ini semua juga berkat dukungan kalian.” Reffa membalas ucapan selamat dari Amri kemudian memainkan ponselnya dan mengirim pesan ke seseorang sambil terus tersenyum.

            “Kamu lagi SMS siapa sih, sambil senyum-senyum gitu?” tanya Amri penasaran.

            “Ayahku.” Jawab Reffa singkat.

            “Ayah? Bukannya Ayah kamu sudah meninggal saat liburan kemarin?” senyuman Reffa seketika lenyap mendengar pertanyaan Amri.

            “Setelah kecelakaan mobil itu, nomor handphone Ayah masih tetap aktif. Jadi, aku terus mengiriminya pesan tentang keadaanku berharap dia akan membacanya.” Melihat wajah murung Reffa, Amri memutuskan untuk diam.

            ‘Ayah, apa aku salah tetap menganggapmu masih ada?’

Dear

Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Konser mini yang diadakan anak-anak FM akan digelar sabtu sore, besok. Kini Reffa dan yang lainnya sibuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari dekorasi taman, kostum, dan juga berbagai alat musik lainnya. Mereka bekerja hingga pulang larut malam. Saat tiba di rumah, Reffa melihat Ibunya sedang duduk di depan TV. Ibu pasti sedang menunggunya.

             “Darimana saja kamu baru pulang jam segini?” tanya Ibu tanpa basa-basi saat Reffa mendekat ke arahnya. Belum sempat Reffa menjawab, Ibu sudah lebih dulu kembali berbicara.

             “Latihan band lagi? Ibu kan sudah bilang, kamu sebaiknya keluar dari komunitas itu. Kamu gak usah main musik lagi, kenapa kamu gak mengerti?!” Selalu seperti ini. Setiap Reffa pulang dari latihan, Ibunya pasti selalu memarahinya.

              “Ibu yang gak mengerti! Ini impanku, Bu. Ini juga impian Ayah, aku ingin mewujudkan impian Ayah membuat sebuah konser.” Hanya untuk kali ini, Reffa membantah Ibunya.

              “Tapi Ayah sudah tidak ada, Reff. Gak ada gunanya lagi kamu melakukan ini.” Amarah Reffa benar-benar tersulut sekarang.

               “Ibu tega ngomong kayak gini? Reffa kecewa, Bu!” Reffa berlari menuju kamarnya. Saat di kamar ia menangis, menumpahkan segala perasaannya. Tentang Ibu dan juga Ayah. ‘Ayah mengapa hidup di dunia ini terlalu rumit?’. Sesaat Reffa seperti mendengar sebuah bisikan lembut sebelum ia jatuh terlelap. ‘Seseorang tak akan sukses sebelum menghadapi masalah, Nak.’

            “Ayah?” Reffa memeluk erat tubuh Ayahnya.

            “Kamu kenapa sedih? Ada masalah?” Reffa mengangguk sebagai jawaban. Ayah tersenyum tipis. Dia memberikan sebuah harmonika biru kepada Reffa.

            “Kalau kamu sedih coba kamu mainkan harmonika ini. Tuangkan segala perasaan kamu saat kamu memainkannya. Biarkan alunan nada itu membuatmu tenang.” Reffa mengambil harmonika tersebut.

            “Dan satu hal yang harus kamu ketahui, jiwa Ayah mungkin boleh pergi. Tapi cinta dan kasih sayang Ayah akan terus ada dan melekat di hati kamu.”

Air mata tanpa sadar mengalir membasahi pipi Reffa. Ia membuka matanya yang sembab dan mendapati dirinya sedang memeluk sebuah harmonika biru, hadiah ulang tahun dari Ayahnya saat masih duduk di bangku SMP. Mungkin Ayahnya benar, jiwa Ayah memang sudah tak ada disini. Tapi Ayah akan selalu hidup di dalam hatinya. Reffa bangkit dari kasurnya, memupuk kembali semangat hidupnya. Ia janji tak akan menyerah pada impiannya. Ia akan terus berusaha mewujudkan impiannya dan impian Ayahnya.  ‘Kau akan bangga melihatku, Ayah. Tunggulah saat waktunya tiba!’
Selesai