‘Ini hari pertamaku di tahun kedua ajaran
SMA. Ayah, kau tahu bagaimana bahagiaku kan?’
Reffa melangkah
memasuki gerbang sekolahnya dengan senyum yang tak lepas dari bibir mungilnya. Secercah
harapan merasuki jiwanya yang damai. Masa abu-abunya kali ini akan ia ukir
seelok mungkin. Ia sungguh telah menyiapkan alur kisah hidupnya. Upacara
pengibaran bendera merah putih pun menjadi agenda pertamanya di sekolah.
Setelah menyimpan tas di kelas, Reffa bergegas menuju lapangan.
“Hai Reff, long
time no see. Gimana keadaan kamu, baik-baik saja kan?” sosok cowok tinggi
berdiri di depan Reffa menghalangi sinar matahari yang menimpa barisannya.
“Oh hai, Ri. Iyalah aku baik-baik saja kok.” Reffa
membalas sapaan Amri dengan sedikit heran.
“Bagus deh. Hm, hari ini kan perkenalan komunitas sekolah
kepada para siswa baru, kamu datang kan ke studio? Kita akan memilih ketua FM
nanti. Aku harap kamu bisa terpilih menjadi ketua kita.” Reffa tersenyum simpul.
“Aku pasti datang. Nggak mungkin aku menyiakan kesempatan
ini. Yah, semoga saja aku bisa.” Tentu saja Reffa akan datang. Menjadi ketua FM
merupakan salah satu agenda di masa abu-abunya. ‘Ayah, aku pasti bisa! Putrimu ini adalah gadis yang hebat.’
Dear
“Oke, selamat datang bagi para siswa kelas sepuluh yang
telah bergabung di Farewell Music atau biasa kita singkat dengan FM. Disini
kalian yang tentunya punya kemampuan dalam bermusik bisa lebih mudah
mengembangkan bakat sekaligus meraih prestasi. Kita semua bisa saling berbagi
informasi tentang dunia musik.” Suara tepuk tangan meriuhkan suasana atas
cuap-cuap dari Kina.
“Karena kita semua sudah berkumpul, kita akan mulai
memilih ketua FM. Apa ada yang ingin mencalonkan diri?” tanya Kina. Semua orang
yang ada di dalam studio terdiam. Reffa melihat sekeliling dan tak melihat seorang
pun yang berniat untuk mencalonkan diri. Dia pun dengan percaya diri
mengacungkan tangannya.
“Ya, Reffa telah mencalonkan diri. Apa ada calon lain?”
Tak ada lagi yang mengacungkan tangan setelah beberapa detik.
“Sepertinya memang sudah tak ada calon lagi. Jadi, telah
ditetapkan mulai hari ini kita memiliki ketua FM baru, yaitu Areffalonia Arum!
Kepada saudari Reffa silakan maju ke depan untuk menyampaikan sepatah kata dan
rancangan kegiatan awal FM di tahun ini.” Suara tepuk tangan kembali terdengar
bahkan lebih meriah. Reffa melangkah maju ke samping Kina berdiri, kemudian
mengambil mic yang diberikan
kepadanya. Satu tarikan napas yang sangat dalam diambilnya kemudian dia
hembuskan perlahan. ‘Aku bisa! Ayah,
sebentar lagi aku akan mewujudkan impianku dan impianmu.’
“Halo semuanya..
hm, pertama aku sangat berterima kasih kepada kalian yang sudah memberikan
kepercayaannya agar aku dapat menjadi ketua komunitas Farewell Music. Aku janji akan melaksanakan kewajibanku dengan
sebaik-baiknya. Adapun kegiatan perdana kita di tahun ini ialah kita akan
membuat sebuah konser mini secara outdoor.”
Ucapan Reffa disambut hangat oleh para anggota FM.
“Wow, acara yang menarik! Lalu, kira-kira kapan acara itu
berlangsung?” tanya Kina untuk memperjelas.
“Secepatnya, mungkin akhir bulan depan. Kita harus cepat
melaksanakan konser ini sebelum Festival Precious
Band. Kita akan mengundang panitia festival itu untuk mendapatkan gold ticket sebagai artis di acara itu.
Aku harap kerja sama dari kalian dalam menyukseskan acara ini. Oh iya, untuk
tempat aku pikir taman gravitasi cocok untuk konser kita dan latihan akan kita
mulai dari besok. Guys, bekerja
keraslah untuk mencapai yang terbaik!” Reffa kembali ke tempatnya sembari
mendapat sorakan gembira dari yang lainnya. Pertemuan komunitas pun segera bubar.
Reffa berjalan keluar studio bersama Amri.
“Wih, selamat ya Reff. Tuh kan, aku bilang juga kamu
pasti bisa jadi ketua FM.” Ucap Amri.
“Makasih. Ini semua juga berkat dukungan kalian.” Reffa
membalas ucapan selamat dari Amri kemudian memainkan ponselnya dan mengirim
pesan ke seseorang sambil terus tersenyum.
“Kamu lagi SMS siapa sih, sambil senyum-senyum gitu?”
tanya Amri penasaran.
“Ayahku.” Jawab Reffa singkat.
“Ayah? Bukannya Ayah kamu sudah meninggal saat liburan
kemarin?” senyuman Reffa seketika lenyap mendengar pertanyaan Amri.
“Setelah kecelakaan mobil itu, nomor handphone Ayah masih tetap aktif. Jadi, aku terus mengiriminya
pesan tentang keadaanku berharap dia akan membacanya.” Melihat wajah murung
Reffa, Amri memutuskan untuk diam.
‘Ayah, apa aku
salah tetap menganggapmu masih ada?’
Dear
Tak terasa waktu
berjalan dengan cepat. Konser mini yang diadakan anak-anak FM akan digelar
sabtu sore, besok. Kini Reffa dan yang lainnya sibuk mempersiapkan segalanya.
Mulai dari dekorasi taman, kostum, dan juga berbagai alat musik lainnya. Mereka
bekerja hingga pulang larut malam. Saat tiba di rumah, Reffa melihat Ibunya
sedang duduk di depan TV. Ibu pasti sedang menunggunya.
“Darimana saja
kamu baru pulang jam segini?” tanya Ibu tanpa basa-basi saat Reffa mendekat ke
arahnya. Belum sempat Reffa menjawab, Ibu sudah lebih dulu kembali berbicara.
“Latihan band
lagi? Ibu kan sudah bilang, kamu sebaiknya keluar dari komunitas itu. Kamu gak
usah main musik lagi, kenapa kamu gak mengerti?!” Selalu seperti ini. Setiap
Reffa pulang dari latihan, Ibunya pasti selalu memarahinya.
“Ibu yang gak mengerti!
Ini impanku, Bu. Ini juga impian Ayah, aku ingin mewujudkan impian Ayah membuat
sebuah konser.” Hanya untuk kali ini, Reffa membantah Ibunya.
“Tapi Ayah sudah
tidak ada, Reff. Gak ada gunanya lagi kamu melakukan ini.” Amarah Reffa
benar-benar tersulut sekarang.
“Ibu tega
ngomong kayak gini? Reffa kecewa, Bu!” Reffa berlari menuju kamarnya. Saat di
kamar ia menangis, menumpahkan segala perasaannya. Tentang Ibu dan juga Ayah. ‘Ayah mengapa hidup di dunia ini terlalu
rumit?’. Sesaat Reffa seperti mendengar sebuah bisikan lembut sebelum ia
jatuh terlelap. ‘Seseorang tak akan
sukses sebelum menghadapi masalah, Nak.’
“Ayah?” Reffa memeluk erat tubuh
Ayahnya.
“Kamu kenapa sedih? Ada masalah?”
Reffa mengangguk sebagai jawaban. Ayah tersenyum tipis. Dia memberikan sebuah
harmonika biru kepada Reffa.
“Kalau kamu sedih coba kamu mainkan
harmonika ini. Tuangkan segala perasaan kamu saat kamu memainkannya. Biarkan
alunan nada itu membuatmu tenang.” Reffa mengambil harmonika tersebut.
“Dan satu hal yang harus kamu
ketahui, jiwa Ayah mungkin boleh pergi. Tapi cinta dan kasih sayang Ayah akan
terus ada dan melekat di hati kamu.”
Air mata tanpa sadar
mengalir membasahi pipi Reffa. Ia membuka matanya yang sembab dan mendapati
dirinya sedang memeluk sebuah harmonika biru, hadiah ulang tahun dari Ayahnya
saat masih duduk di bangku SMP. Mungkin Ayahnya benar, jiwa Ayah memang sudah
tak ada disini. Tapi Ayah akan selalu hidup di dalam hatinya. Reffa bangkit
dari kasurnya, memupuk kembali semangat hidupnya. Ia janji tak akan menyerah
pada impiannya. Ia akan terus berusaha mewujudkan impiannya dan impian
Ayahnya. ‘Kau akan bangga melihatku, Ayah. Tunggulah saat waktunya tiba!’
Selesai